Judul: Dil3ma
Pengarang: Mia Arsjad
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Romance-Comedy, Metropop
Tebal: 336 halaman
Harga (Toko): Rp48.000
Rilis: Oktober 2009 (cet. 1)
Saya tidak ingat, apakah saya pernah begitu menyukai tulisan Mia Arsjad? Hmm… yang pasti, sebelum Dil3ma ini, saya hanya pernah membaca satu buah karangan Mia, Rona Hidup Rona, yang meskipun tak begitu meninggalkan kesan mendalam, namun hmm… lumayan suka. Mungkin sekitar tema-nya, mbak-mbak penggila brondong atau plot-nya yang dibuat melilit kesana-kemari. Entahlah, sepertinya saya memang menyukai Rona Hidup Rona.
Yang saya ingat lagi adalah, saya tidak menyukai gaya tulisan Mia. Menurut pandangan pribadi, Mia tidak pernah memilah, entah sengaja atau tidak, mana tulisan yang untuk percakapan (dialog) dan mana yang untuk narasi (penjelasan/pengantar cerita). Dan, saya agak tidak begitu menyukai tulisan yang blur begini. Saya suka dengan pakem. Berdialog dengan bahasa dialog dan berdeskripsi dengan bahasa deskripsi. Dalam Dil3ma, Mia masih tetap dengan gayanya tersebut, yang tentu saja mengurangi kenikmatan saya melumat adegan demi adegan yang diciptakannya.
Dengan membaca judulnya saja, Dil3ma (huruf e-nya diganti dengan angka 3), saya sudah langsung membuat tebakan besar tentang plot novel ini. Yaitu, 3 orang dengan masalah mereka. Yup, benar. Nggak salah. Novel ini memang bercerita soal tiga tokoh perempuan dengan runtutan dilema masing-masing. Seharusnya kompleks dan menegangkan, tapi ternyata datar saja. Ada sih guncangan di sana-sini, tapi lemah, karena mudah ditebak.
Soal tema, agak umum dan sudah sangat sering diangkat, jadi tidak banyak yang bisa dibahas. Bicara soal player, risk-taker, dan plin-plan, semuanya berkesan oldies. Pun, dengan jumlah tokohnya yang 3 orang. Ketika kali pertama melihat dan membaca sinopsisnya di toko buku, ingatan saya langsung melayang pada metropop-nya Clara Ng, Tiga Venus, meskipun tidak ada kejadian pertukaran jiwa di sini. Kesamaan keduanya adalah terletak pada jumlah tokohnya yang 3, kesemuanya perempuan, dengan latar belakang dan sifat yang saling bertolakan. Hmm… ga ada pilihan lain kah? tokohnya enam gitu...hehehe jadi judulnya bia dil6ma! Jayus, ah!
Kembali ke gaya tulisan Mia. Satu lagi yang membuat saya tidak nyaman, khususnya dalam novel ini, adalah pilihan Mia yang meng”aku”kan salah satu tokoh tapi meng”orang-ketiga”kan tokoh lain. Maksud saya, sebagian besar tokoh “aku” adalah pencerita dalam novel ini sehingga tokoh lain menjadi pemeran pembantu yang bertindak sebagai orang ketiga. Nah, di tempat-tempat tertentu, tanpa tokoh “aku”, tokoh-tokoh orang ketiga ini bebas sekali penggambarannya. Tokoh tersebut dengan leluasa menceritakan diri mereka. Saya sih tidak masalah dengan pemberian “porsi-mendadak” begitu asalkan dibuat dengan rapi. Sayangnya, dalam novel ini saya mendapati alasan bahwa pemberian porsi tersebut hanya untuk menjaga eksistensi si tokoh saja. Itu wajar sih, karena saya pasti ingin tahu juga dengan nasib tokoh-tokoh itu. Tapi, sekali lagi, agak kurang pas saja cara menampilkannya.
Contoh salah satu pemberian porsi yang kurang pas ini, saya rasakan ada di halaman 235. Berikut saya cuplik sedikit (muga2 gak ngelanggar hak cipta ye… Minta ijin dicuplik dikit ya, Mia + Gramedia):
Robi menepikan mobilnya dan masuk ke pelataran parkir Lura. Setelah ketemu aku tadi, Robi langsung………dan seterusnya (dst).
Mobil Robi memelan di depan kantor Lura….dst.
Robi cuma bisa maklum. Setelah cerita dari aku tadi, Robi sangat maklum sama reaksi….dst.
Dari adegan tersebut, awalnya saya menduga tokoh “aku” ikut berakting dalam adegan itu. Nyatanya tidak. Tokoh aku sama sekali tidak ada di dalam scene tersebut. Hmm, gimana ya…klo menurut gua itu weird. Aneh. Saya merasakan-nya, seolah-olah tokoh aku ini melihat, bahkan sampai detail, apa yang dilakukan oleh tokoh Robi, padahal tokoh aku tidak ada di situ. Atau, saya-nya saja ya... yang kurang teliti. Entahlah, sampai sekarang saya tetap nggak ngeh dengan adegan itu.
Dari segi cerita sendiri sebenarnya cukup menarik, sayang, penggaliannya kurang dalam. Mungkin Mia ingin tiga tokohnya terkesan “kerepotan” dengan dilema masing-masing. Unfortunately, masalah demi masalah yang dihadapi tokoh-tokoh rekaan Mia malah terkesan agak mengambang. Berpotensi menjadi ‘bencana’ yang mengundang simpati, tetapi gagal memberikan efek dramatis. Bahkan beberapa mudah sekali ditebak.
Agak disayangkan lagi, novel ini pun tak luput dari kesalahan teknis percetakan/pengeditan. Tuduhan ketelodoran tentu saja pantas ditujukan pada tim editor, of course. Harusnya editor lebih jeli dan lebih teliti lagi. Contoh kecerobohan itu ada di halaman 253.
…Mala juga. Dia menarik kursi di sisi lain ranjang Lura. “Nyokapnya belum dateng ya, Ra?” aku menyelipkan poni Lura……dst.
Pertanyaan tokoh aku itu bukankah seharusnya, “Nyokapnya belum dateng ya, La/Mal?”, kecuali jika dialog tersebut memang bermaksud si tokoh aku berbicara dengan Lura, yang sedang tak sadarkan diri (koma).
Anyway, dari keseluruhan tokoh rekaan Mia, saya memang lebih “mencintai” tokoh aku yang sifat plin-plan-nya mirip-mirip saya. Beruntung… saya tidak sama keras kepalanya dengan tokoh aku itu. Yang lucu sekaligus menyebalkan serta menjengkelkan adalah tokoh Reva yang diplot menjadi pacar dari tokoh aku. Karakter inilah yang membuat saya gemas bukan main. Kok ada ya, orang kayak begitu….
Overall, novel ini masuk kategori lumayan. Dalam waktu dekat, saya mungkin tidak tertarik untuk membacanya lagi. Entah berapa minggu, bulan, atau tahun lagi saya baru berminat untuk membacanya ulang.
Selamat membaca!
Sinopsis (cover belakang)
Tiga wanita lajang, tiga dilema.
Lura, dengan kebiasaan buruknya mempermainkan laki-laki padahal di sisinya ada Robi yang baik dan setia.
Mala, yang punya affair dengan Mas Sis, atasannya, dan sabar menanti sang bos bercerai dari istrinya.
Nania, dengan Reva-nya yang matre dan abussive secra verbal tapi ogah putus karena takut jadi jomblo abadi.
Tiga sahabat yang mencari cinta dengan segala cara. Hingga masing-masing kena batunya. Dan mendapatkan pencerahan.
Wah makasih ya untuk review nya. Saya juga penggemar metropop, dan punya novelnya Mia Arsjad yang Rona Hidup Rona, tapi sampai sekarang belum selesai terbaca. Jujur agak kuran suka dengan gaya penulisannya. Salam kenal :)
ReplyDeleteSalam kenal juga, Indira. Semoga ketaksukaan pada satu novel tidak menyebabkan tak berani mencoba novelnya yang lain ya? Okey, tetap semangat membaca!
ReplyDelete