Mengapa cinta harus serumit ini, sih??
Read on August 25, 2011
Rate: 4 out of 5 star
Denise:
Aku bahagia dengan persahabatan kita, Ruly, Keara, Harris!
Ruly:
Aku akan selalu memimpikanmu untuk menjadi istriku, Denise.
Keara:
Gue musti apa untuk mendapatkan cinta lo, Ruly?
Harris:
Gue akan ngelakuin apa aja buat lo, Keara, asal lo jadi milik gue.
Wahhhh, selain menunggu terbitnya lagi novel fiksi karya Alberthiene Endah, menunggu tulisan paling anyar dari Ika Natassa adalah penantian terpanjangku sebagai penikmat lini metropop. Sejak tergila-gila pada A Very Yuppy Wedding (AVYW) dan terpikat ketika membaca Divortiare, aku selalu berharap penulis yang adalah bankir ini dapat menerbitkan novel fiksinya secara reguler. Tiap bulan, maybe? #ngarep.
Dan, penantian panjang itu berakhir dengan terbitnya novel metropop terbaru Ika bertajuk
Antologi Rasa (AR). Ketika kali pertama tahu tentang buku ini dari
newsletter yang dikirim Gramedia by
email, kupikir bentuknya adalah kumpulan cerita (terkait judulnya yang menggunakan kata antologi). Sudah ketar-ketir aja, secara aku agak kurang bisa menikmati kumcer, recently.
Thank GOD, it’s a novel!
AR mengalir dalam irama khas Ika Natassa. Gaya menulisnya yang telah menyihirku sejak AVYW masih terasa di AR ini. Sinis, sarkastis, terkadang hiperbolis, dan tak jarang komikal-kocak (terutama dialog-dialog vulgar menjurus mesumnya, hehehe), membuatku enggan untuk meletakkan buku ini sebelum benar-benar tuntas terbaca. Oke, nggak langsung habis dalam hitungan jam, namun selesai dalam sehari masih terbilang cukup cepat buatku. Ugh, adiktif bener lah tulisan si mbak satu ini. Buatku, paling tidak.
Soal ceritanya sih, bukan barang baru. Novel ini “hanya” me-repackage kisah cinta bersegi biasa dalam kemasan baru. Yang bikin beda, tentu saja sentuhan khas Ika dan bumbu penyedap racikannya yang bikin segar konflik-konfliknya. Ini “cuma” cerita 4 orang sahabat yang terjebak dalam hubungan persahabatan yang dipenuhi letupan-letupan asmara rahasia di antara mereka. Tambahkan setting kota besar, barang bermerek, dan event mewah ber-budget nggak masuk akal, maka novel ini memang stereotip metropop kebanyakan. Bagi yang nggak suka lini metropop, ornamen inilah yang membuat kebanyakan dari mereka mencibir. Penting gitu, ngebahas branded things? Hahaha, gue sih fun-fun aja. Secara nggak bakal juga kebeli tuh barang-barang. Nyante aja, man!
Oke, untuk segmen tertentu, novel ini akan dengan mudah disukai. Pertama, pembacanya harus menguasai bahasa Inggris minimal secara pasif, karena cukup banyak kisahnya yang ditulis dalam bahasa bule itu. Kedua, pembacanya harus open-minded. Jangan kayak gue yang kolot gini. Baca bagian di mana para tokohnya minum alkohol kayak minum aer saja aku sudah nggak tahan pengen ngehujat. So, anggap saja lah ini memang realitas bunga-bunga sosialita Jakarta. Jangan lagi merasa aneh jika di sebagian kisah yang lain, seseorang ML sesering ia ganti celana dalam tanpa ikatan pernikahan, free sex. Sudah jelas, novel ini bakal masuk kategori “amoral” jika membacanya sembari mengingat aplikasi keagamaan. Jadi, bacalah dengan pikiran terbuka dan yah...sekadar membaca, just for fun, jus for laugh (jadi inget Tukul). Ketiga, ya soal background tokoh-tokohnya yang sudah so f*cking perfect, tajir pula. Sinetron banget, kan? Siap-siap merasa hina deh bagi peminder sejati (like me, huhuhu). Nggak ada deh tuh tokoh hidung pesek, gigi tonggos, atau melarat yang bakal beruntung dapat porsi di novel ini. Namun, khusus untuk yang ketiga ini, aku sih udah nggak gitu-gitu peduli. Oleh sebabnya, seseorang pernah bilang, “kasian pembacanya donk kalo di cerita aja masih harus baca tokoh jelek dan kere, secara di dunia nyata sudah miserable,” maksudnya hidup di dunia sudah susah, ya biar saja lah pengarang memanjakan pembacanya dengan yang indah-indah, dengan fantasi kelas tinggi. And, I must agree with that.
Tak seperti AVYW yang tak kulewatkan satu tanda baca pun, pada AR ada beberapa part yang aku lompati karena hanya berupa pengulangan dari statement masing-masing tokohnya. Ada Ruly yang dari satu bab ke bab lain terus saja bermimpi hidup berdampingan dengan Denise. Atau Harris yang terus menerus memuja Keara. Entah ini kategori bagus atau jelek, aku melewati part itu gegara geregetan pengen tau gimana ending-nya sebenarnya. Dan, about the ending? Aku suka bab terakhir, meskipun jalan menuju bab terakhir, yang melibatkan proses “8 month later” itu, duhh, kok ya kayak gitu ya. Nggak rela banget, perjuangan sebegitu dramatisnya, diakhiri hanya dengan begitu? #huhuhu
Gaya mendongeng Ika yang maju-mundur perlu mendapat kecermatan tersendiri, agar plotnya tetap logis dan kronologis. Awalnya aku ingin secara khusus peduli pada pergantian waktu yang di-manage oleh si pengarang. Namun, akhirnya kuabaikan saja soal perhitungan waktu itu. Bodo amat deh, nikmati aja lah jalan ceritanya. Soal lain yang aku suka dari Ika adalah kepiawaiannya untuk menguraikan hal-hal umum keseharian sebelum membawanya ke kehidupan para tokohnya. Analogi-analoginya juga masuk banget.
Yang lucu adalah sehabis aku menyelesaikan Waiting for You-nya Susane Colasanti yang John Mayer banget, lha kok...novel ini juga nggak kalah John Mayer-nya. Widihh, ada apa sih dengan John Mayer ini. Sekeren itu kah male soloist satu ini? Apa aku perlu menghayati lagu-lagu John Mayer (atau malah belajar gitar kayak doi) biar ada cewek yang klepek-klepek? #eh malah curcol. Huff!
My favorit line, yang bisa aku pakai kalau lagi suntuk di kantor dan terkadang pengen loncat dari lantai 20 gedung kantorku:
“Bodoh banget memang gue ya lama-lama, nonstop mengeluh tentang kantor ini, tapi tetap aja kerja di sini sepenuh hati. Yeah, sepenuh hati my ass.”
Sedangkan sedikit rasa penasaran pada:
1. Berapa kemungkinan dua orang yang berbeda memiliki fantasi pada satu tokoh yang sama? Keara yang paranoid ketemu Hannibal Lecter di kereta dan Harris yang berfantasi menjadi santapan Hannibal Lecter (hlm: 323). No biggie lah ya, hanya saja, jelas terlihat bahwa si pengarang masih terlibat di sini, bukan si tokoh yang bercerita, padahal PoV yang digunakan orang pertama.
2. Just a silly question, di pesawat (penerbangan internasional) masih boleh gitu ya nyalain BB? (hlm: 226)
Yang bikin kesel, pada awalnya, adalah para tokohnya yang pemuja kebebasan ini, kok ya masih terjebak pada ketakutan untuk menghancurkan persahabatan jika dua orang yang bersahabat terlibat dalam hubungan cinta? Apa susahnya sih ngomong, I love you? #halah gue aja nggak berani kok bilang itu ke inceran gue. #eaaa Tapi, ya, ini juga stereotip novel metropop, ya? ML oke, tapi ngaku cinta aja cemen. So, let it be. Hahaha.
Selamat membaca, kawan!