Friday, May 24, 2013

[WOW-moment] Produktif Atau Kejar Setoran?

WOW-moment adalah satu waktu ketika saya mendapati hal-hal yang menurut saya fenomenal yang membuat mulut saya ternganga takjub dan berkali-kali membisikkan kata WOW, baik secara langsung maupun sekadar dalam hati.

Saya sudah mengalami WOW-moment yang satu ini sejak lama. Well, tidak lama-lama juga sih. Yang paling saya ingat adalah ketika tetiba nama Damien Dematra menyeruak di banyak sampul buku yang bertebaran di rak buku new arrival di toko buku. Ketika pengarang lain sepertinya butuh waktu lama untuk bisa menampakkan namanya di sampul buku terbaru, Damien Dematra hanya butuh ‘sekejap’ saja untuk bisa punya buku baru lagi. Oh, ini hanya ibarat saja karena saat booming Damien Dematra saya hanya ter-WOW dan tak sempat melakukan pengamatan yang lebih mendetail.

Contoh lain yang saya dapatkan lebih banyak diisi nama-nama pengarang baru dari penerbit yang ‘kedengarannya’ juga masih baru. Meskipun, si pengarang ini tampaknya juga punya satu-dua buku yang diterbitkan oleh penerbit besar yang sudah populer.

Belakangan saya terkagum-kagum dengan beberapa nama ini: Riawani Elyta, Orizuka, Aditia Yudis, Yoana Dianika, Indah Hanaco, Monica Petra, Clara Canceriana, dan beberapa nama lain yang mendadak seolah menyerbu toko buku dan hendak ‘menguasai’nya. Maka, beberapa pertanyaan mengusik benak saya. Ada apa sebenarnya? Mengapa pengarang-pengarang tersebut begitu gencar menerbitkan karya-karyanya? Memang produktif ataukah sekadar kejar setoran? Apakah mereka tidak takut popularitas mereka akan surut karena karyanya sudah telanjur dilempar dan mereka tak punya lagi karya menggigit yang bisa ditawarkan di waktu mendatang?

Nah, apakah kamu pernah juga merasai WOW-moment yang seperti ini? Kening mengerut dan pikiran mulai berkecamuk diserbu dilema, “Siapa sih ini? Beli nggak, ya? Tapi, aku belum pernah baca novel-novel dia? Bagus nggak, ya, tulisannya?”

Beruntung saya bisa melakukan konfirmasi atas segala tanya yang berputar-putar di benak saya itu, meskipun hanya pada satu pengarang saja, pun melalui media surat elektronik, bukan wawancara langsung. Namun, ini akan menjadi side view yang bagus buat saya, khususnya. Dan, agar kawan pembaca semua yang juga ter-WOW pada fenomena ini bisa sedikit mempunyai gambaran.

Indah Hanaco menjadi nama fenomenal bagi saya. Setidaknya setiap kali saya window shopping ke toko buku. Pernah dalam satu waktu, saya melihat nama Indah ter-display di empat buku berbeda, di rak yang sama. Kalau nggak rak best-seller ya rak new arrival. Saya jelas-jelas merasa terkena sindrom meragu (ohiya, salah satu novel Indah berjudul Meragu, mungkin saya bisa mulai membaca karya Indah dari novel ini, untuk menguji tingkat keraguan saya). Ragu akan banyak hal. Hey, kalau saya sedang menderita sindrom meragu, tidak serta-merta saya menuduh si pengarang buku itu memiliki kemampuan yang meragukan, ya? Tidak. Saya tidak pernah langsung merasa begitu. Ini lebih ke diri saya sendiri. Tentang selera saya.

Hal pertama yang saya tanyakan pada Indah adalah, “Apakah ia memang sudah memiliki banyak stok naskah atau ia terbilang cepat dalam menulis sebuah novel?
Saya malah tidak pernah punya stok naskah. Jika sebuah novel sudah kelar ditulis, biasanya langsung dikirim ke penerbit,” jawab Indah tegas di dalam email balasan yang dikirimkannya. 

Indah menjelaskan bahwa ia pengarang yang menggunakan outline atau draft kasar yang akan ia sodorkan pada editor yang mengontaknya. Jika sang editor menyukainya, barulah Indah mengerjakan pengarangan novelnya. Sampai di sini saya berdecak kagum. Bagaimana dengan deadline? Apakah Indah tak takut ‘gagal’ mengembangkan outline sehingga gagal pula memenuhi target dari editor itu? Indah menjelaskan, outline membantunya menulis dengan lebih cepat. Oleh karenanya, ia selalu berusaha untuk membuat satu outline yang lengkap, termasuk detail apa yang dia inginkan di bab tertentu. Meski kadang ada sedikit perubahan, hal itu menghemat banyak waktu.

Secara umum, rata-rata Indah biasanya membutuhkan waktu sekitar satu bulanan untuk menyelesaikan satu buah novel. Dan, dari beberapa novelnya yang sudah terbit, Indah menyebutkan bahwa “Meragu” adalah novel yang membutuhkan waktu pengarangan terlama. Novel itu baru selesai sekitar dua tahun. Entah mengapa pada satu titik Indah tiba-tiba merasa tidak bisa melanjutkan. Akhirnya ia biarkan dulu, padahal saat itu novel sudah 80% rampung. Indah mengalihkan fokus ke naskah-naskah lain hingga Meragu terlupakan. Sampai akhir tahun 2012 lalu ia memaksakan diri untuk menyelesaikannya dan mengirimkannya ke penerbit.

Kemudian, satu pertanyaan lain menyambung pertanyaan pertama saya, mengingat novel-novel Indah terbit hampir berdekatan dan ia menyebutkan hanya perlu satu bulanan untuk menyelesaikan naskah, apakah Indah tidak melakukan riset untuk memperkuat naskahnya?
Untuk hal di luar pengetahuan saya, riset adalah keharusan. Namun yang pasti, saya tidak mau menghabiskan waktu berlama-lama untuk riset. Kenapa? Karena saya sangat menghargai waktu. Jadi, saya berusaha memanfaatkan waktu seefisien mungkin,” Indah menerangkan.

Yang jelas, dalam melakukan riset ia berusaha keras memiliki sumber yang valid. Tak hanya sekadar berselancar di internet, ia juga membeli buku-buku yang berkaitan dengan tema yang ingin dipelajari. Juga bertanya pada teman yang memiliki pengalaman. Sampai saat ini, buku-buku yang dibaca anak-anaknya justru memberi bantuan luar biasa dalam pengarangan beberapa novelnya. Indah adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua buah hati yang menggemaskan. Indah mengaku belum pernah melakukan riset yang menyusahkan. Mungkin karena ia terbiasa berusaha menulis apa yang dekat dengan kehidupannya, atau minimal mempunyai sedikit pengetahuan tentang tema itu.

Berbicara soal anak (dan keluarganya), bagaimana dengan tugasnya sebagai seorang istri sekaligus ibu?
 
Indah bercerita bahwa kedua buah hatinya sudah cukup besar dan mandiri, jadi ia tinggal mengawasi. Si sulung misalnya, sudah tak perlu diingatkan tentang jadwal hariannya yang cukup padat. Si bungsu yang baru berusia 6 tahun pun selalu mengerjakan PR tanpa harus disuruh. Kebetulan Indah juga mempekerjakan asisten rumah tangga, sehingga pekerjaan rumah tangga tak pernah membebani. Meski begitu, Indah masih tetap memasak dan memastikan kebutuhan seisi rumah terpenuhi.
“Saya pasti bukan ibu yang sempurna, tapi saya tahu apa yang diinginkan atau dibutuhkan anak-anak dan suami,” sambungnya.

Kalau begitu, berarti keluarga sangat mendukung kegiatan kepengarangan Indah?

Indah mengakui bahwa keluarganya sangat mendukung kegiatan kepengarangannya. Kebetulan, ia bukan tipe orang yang bisa bekerja kantoran, menjadi Penulis memang profesi idamannya. Lalu Indah sedikit curcol tentang pengalaman bekerjanya. Ia pernah bekerja menjadi bankir. Setelah menikah dan pindah dari Medan, Indah pernah bekerja di sebuah hotel di Cipanas. Begitu punya anak, ia ternyata berubah menjadi seorang pencemas. Dalam sehari bisa menelepon puluhan kali hanya untuk memastikan apakah anaknya makan dengan baik, tidur dengan cukup, rewel atau tidak, bla bla bla. Hingga akhirnya Indah memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga.

Indah merasa sungguh beruntung bahwa suaminya adalah orang yang sangat pengertian. Suami mendukung semua keputusan yang Indah ambil dalam hidup ini. Dia memercayai penilaian Indah dan menghormati keinginannya. Kemudian Indah berseloroh tentang suaminya, 
“Satu-satunya larangannya adalah saat saya ingin menindik hidung.”

Saya tertawa kecil demi mendapati jawaban Indah itu. Satu keharuan bercampur kebanggaan dan kekaguman terbetik dalam benak saya, ketika Indah menyebut, 
“Suamilah yang mendorong saya untuk terus menulis. Anak-anak pun sama. Anak saya tidak pernah rewel saat melihat saya mengetik berjam-jam. Bahkan kalau saya tidak menulis, mereka akan protes.”
 
Di sini saya benar-benar diliputi rasa hangat dan segera memanjatkan doa semoga Indah dan keluarga diberikan kesehatan dan kebaikan setiap harinya. Amiin. Such a wonderful family.

Kembali ke topik utama kita, soal buku yang terbit berdekatan, apa keuntungan dan/atau kerugian dari terbitnya beberapa novel dalam waktu yang berdekatan? Bagaimana cara mempromosikan masing-masing bukunya, apalagi jika penerbitnya berbeda?

Indah tidak pernah memikirkan secara khusus tentang keuntungan atau kerugian dari penerbitan novel-novelnya dalam waktu yang hampir berdekatan itu. Tak dimungkirinya, sempat timbul kekhawatiran juga di hatinya. Cemas dianggap kemaruk atau sekadar kejar setoran. Bahkan gara-gara ini ia pernah disindir-sindir pengarang lain di akun jejaring sosial. Sedih sebenarnya, dipojokkan hanya karena beberapa bukunya terbit dalam waktu nyaris bersamaan.
 “Boleh curcol dikit, ya? Bulan April 2013 ada 8 buku saya yang terbit. Empat buah buku stiker anak, 2 buah novel, 1 buku rumus matematika, dan 1 buku kumpulan kisah inspiratif. Semuanya saya kerjakan dalam waktu berbeda. Ada yang dikirim ke penerbit sejak akhir 2011, awal 2012, pertengahan tahun 2012, akhir tahun 2012, hingga awal tahun 2013. Ketika semuanya terbit di bulan yang sama, saya bisa apa? Orang tidak pernah tahu bahwa di balik itu semua ada kerja keras yang menyertainya. Saya harus memangkas jam tidur selama setengah tahun terakhir. Tidur 8 jam adalah suatu kemewahan bagi saya saat ini. Tapi, apakah saya merasa tersiksa? Tidak, kok. Saya malah bahagia karena menulis memang pekerjaan yang paling saya cintai.

“Lagipula, saya sehari-hari tidak bekerja kantoran. Tidak berbisnis juga. Saya cuma menulis. Kalau tiap bulan saya bisa menyelesaikan minimal satu buah novel, itu bukan sesuatu yang hebat. Biasa saja.
“Kadang, kenyinyiran rekan seprofesi yang justru mengganggu. Tapi sudahlah, saya toh tidak bisa memuaskan semua orang. Dan memang tak berniat melakukan itu. Yang penting, pembaca saya merasa bahagia, itu fokusnya. Mereka malah tidak protes dengan munculnya novel saya dalam waktu nyaris bersamaan. Saya justru terharu tiap ada yang memberi kesan-kesan atas novel saya.

“Saya tidak pintar berpromosi, tapi saya usahakan untuk rutin “jualan” di akun jejaring sosial. Saya mencintai semua buku saya, apalagi belakangan banyak yang terbit berdekatan. Saya juga menghargai semua penerbit yang sudah berkenan menerbitkan tulisan saya. Makanya, saya tidak pernah memasang foto cover novel lagi di Facebook atau Twitter. Cukup foto Hugh Grant atau Adam Levine saja, biar adil.”

Lagi-lagi saya tertawa kecil membaca jawaban Indah ini, sebelum Indah melanjutkan,
“Oh ya, seputar ‘kejar setoran’ yang kadang ditudingkan kepada saya, sebenarnya agak menggelikan. Pada kenyataannya, saya ini termasuk sering ditipu urusan royalti. Tapi saya pikir tidak ada untungnya juga berkoar-koar soal ini. Peristiwa ini malah membuat saya menjadi kian selektif dalam memilih penerbit. Saya percaya, akan ada saatnya Tuhan membayar lunas berikut bunganya pada saya kelak. Saya adalah orang yang meyakini kalau ‘kepahitan’ saat ini hanyalah ‘uang muka’ untuk kebahagiaan di masa depan. 

“Jadi, saya menulis karena saya memang menyukai dunia ini. Siapa sih yang tidak suka uang? Tapi saya tidak sampai begitu sukanya hingga menjadikan uang sebagai prioritas dalam menulis. Kasarnya, tanpa harus mendapat penghasilan dari menulis pun hidup saya nyaman-nyaman saja. Tapi saya pasti tidak bisa bahagia tanpa menulis. Mau dikemanakan imajinasi saya seputar cowok-cowok menggemaskan itu?”

Dari membaca jawaban Indah yang cukup panjang itu, saya mengerti bahwa persepsi yang membuat saya ter-WOW sehingga menerbitkan beratus-ratus tanya tentang seorang pengarang kadang memang menyesatkan diri sendiri. Bahkan, saya setuju dengan Indah, terlampau kejam jika kita menghakimi seseorang sedang ‘kejar setoran’ hanya karena kebetulan buku-buku karya pengarang tersebut terbit hampir berdekatan waktunya. Ada perjuangan di balik setumpuk buku itu.

beberapa buku Indah Hanaco yang sudah terbit, gambar diolah dari: www.goodreads.com

Saya sendiri merasa tidak pantas memiliki WOW-moment ini karena sebagian besar saya belum membaca karya-karya mereka. Sindrom meragu saya justru mengikat kuat dan mengadang niatan saya untuk mencicipi bagaimana rasa dari racikan imajinasi yang diolah oleh para pengarang ini. Pada akhirnya, saya harus berusaha makin bijak memandang semua hal. Janin dalam kandungan saja sekarang bisa dilihat secara empat dimensi, maka setiap permasalahan seharusnya pun bisa dilihat dari segala sisi. Tak hanya dipandang satu sisinya saja.

Sebagai penutup artikel WOW-moment pertama ini, saya sampaikan terima kasih kepada Indah Hanaco yang telah bersedia berbagi dan meluangkan waktu membalas email pertanyaan yang saya kirim. Dan, khususnya untuk para pengarang yang buku-bukunya banyak terbit di waktu yang hampir berdekatan, semangat terus menulis, saya percaya kalian sedang menciptakan dunia untuk memberi warna hidup semuanya, khususnya bagi pembaca seperti saya. Terima kasih.

Selamat menulis, kawan pengarang;
Selamat membaca, kawan pembaca;
Dunia ini milik kita.


*profil Indah Hanaco akan saya posting secara terpisah dalam Bincang Pengarang bulan depan. Saya berencana menjadikan Indah Hanaco sebagai Author of the Month di bulan Juni 2013 mendatang.  

6 comments:

  1. WOW keren kak postingannya, jadi banyak tahu, dan makin semangat menulis! :D

    ReplyDelete
  2. @Dheril....ayo semangat nulisnya, Dheril....:)

    ReplyDelete
  3. Kayak Jennifer Echols sama Abbi Glines nih *taunya pengarang luar*. Btw bisa juga bukunya cetakan ulang beda penerbit. Kaya Orizuka misalnya, 2 buku keluar hampir bareng tapi cetak ulang dua2nya. Ehehe

    ReplyDelete
  4. Hai mas ijul, qiqiqiqi ngapain tuh namaku disempilin juga:-) don't worry, aq msh abdi negara koq, jauh bgt deh dari modus kejar setoran or nguasain pasar, hihihi

    ReplyDelete
  5. Pas baca, Indah ini yang mana ya? Pas lihat fotonya... The cup of coffee, i love you dad. O itu ya bukunya dia. Suka buku yang ini.

    ReplyDelete
  6. Keren mba indaah..kdg jg buku bs terbit bareng krn jadwalnya kebetulan bareng pdhl ada yg udah antre lamaa dr zaman kapan hehe *curcol

    ReplyDelete