WOW-moment adalah satu waktu ketika saya mendapati hal-hal yang menurut saya fenomenal yang membuat mulut saya ternganga takjub dan berkali-kali membisikkan kata WOW, baik secara langsung maupun sekadar dalam hati.
Saya sudah
mengalami WOW-moment yang satu ini sejak lama. Well, tidak lama-lama juga sih.
Yang paling saya ingat adalah ketika tetiba nama Damien Dematra menyeruak di
banyak sampul buku yang bertebaran di rak buku new arrival di toko buku. Ketika
pengarang lain sepertinya butuh waktu lama untuk bisa menampakkan namanya di
sampul buku terbaru, Damien Dematra hanya butuh ‘sekejap’ saja untuk bisa punya
buku baru lagi. Oh, ini hanya ibarat saja karena saat booming Damien Dematra
saya hanya ter-WOW dan tak sempat melakukan pengamatan yang lebih mendetail.
Contoh lain yang
saya dapatkan lebih banyak diisi nama-nama pengarang baru dari penerbit yang
‘kedengarannya’ juga masih baru. Meskipun, si pengarang ini tampaknya juga punya
satu-dua buku yang diterbitkan oleh penerbit besar yang sudah populer.
Belakangan saya
terkagum-kagum dengan beberapa nama ini: Riawani Elyta, Orizuka, Aditia Yudis, Yoana
Dianika, Indah Hanaco, Monica Petra, Clara Canceriana, dan beberapa nama lain
yang mendadak seolah menyerbu toko buku dan hendak ‘menguasai’nya. Maka,
beberapa pertanyaan mengusik benak saya. Ada apa sebenarnya? Mengapa pengarang-pengarang
tersebut begitu gencar menerbitkan karya-karyanya? Memang produktif ataukah
sekadar kejar setoran? Apakah mereka tidak takut popularitas mereka akan surut
karena karyanya sudah telanjur dilempar dan mereka tak punya lagi karya
menggigit yang bisa ditawarkan di waktu mendatang?
Nah, apakah kamu
pernah juga merasai WOW-moment yang seperti ini? Kening mengerut dan pikiran
mulai berkecamuk diserbu dilema, “Siapa sih ini? Beli nggak, ya? Tapi, aku
belum pernah baca novel-novel dia? Bagus nggak, ya, tulisannya?”
Beruntung saya
bisa melakukan konfirmasi atas segala tanya yang berputar-putar di benak saya
itu, meskipun hanya pada satu pengarang saja, pun melalui media surat
elektronik, bukan wawancara langsung. Namun, ini akan menjadi side view yang
bagus buat saya, khususnya. Dan, agar kawan pembaca semua yang juga ter-WOW
pada fenomena ini bisa sedikit mempunyai gambaran.
Indah Hanaco
menjadi nama fenomenal bagi saya. Setidaknya setiap kali saya window shopping
ke toko buku. Pernah dalam satu waktu, saya melihat nama Indah ter-display di
empat buku berbeda, di rak yang sama. Kalau nggak rak best-seller ya rak new
arrival. Saya jelas-jelas merasa terkena sindrom meragu (ohiya, salah satu
novel Indah berjudul Meragu, mungkin saya bisa mulai membaca karya Indah dari
novel ini, untuk menguji tingkat keraguan saya). Ragu akan banyak hal. Hey,
kalau saya sedang menderita sindrom meragu, tidak serta-merta saya menuduh si pengarang
buku itu memiliki kemampuan yang meragukan, ya? Tidak. Saya tidak pernah
langsung merasa begitu. Ini lebih ke diri saya sendiri. Tentang selera saya.
Hal pertama yang
saya tanyakan pada Indah adalah, “Apakah ia memang sudah memiliki banyak stok
naskah atau ia terbilang cepat dalam menulis sebuah novel?”
“Saya malah tidak pernah punya stok naskah. Jika sebuah novel sudah kelar ditulis, biasanya langsung dikirim ke penerbit,” jawab Indah tegas di dalam email balasan yang dikirimkannya.
Indah menjelaskan bahwa ia pengarang yang
menggunakan outline atau draft kasar yang akan ia sodorkan pada editor yang
mengontaknya. Jika sang editor menyukainya, barulah Indah mengerjakan pengarangan
novelnya. Sampai di sini saya berdecak kagum. Bagaimana dengan
deadline? Apakah Indah tak takut ‘gagal’ mengembangkan outline sehingga gagal
pula memenuhi target dari editor itu? Indah
menjelaskan, outline membantunya menulis dengan lebih cepat. Oleh karenanya, ia
selalu berusaha untuk membuat satu outline yang lengkap, termasuk detail apa yang dia inginkan di bab tertentu. Meski kadang ada
sedikit perubahan, hal itu menghemat banyak waktu.
Secara umum, rata-rata Indah biasanya membutuhkan
waktu sekitar satu bulanan untuk menyelesaikan satu buah novel. Dan, dari
beberapa novelnya yang sudah terbit, Indah menyebutkan bahwa “Meragu” adalah
novel yang membutuhkan waktu pengarangan terlama. Novel itu baru selesai
sekitar dua tahun. Entah mengapa pada satu titik Indah tiba-tiba merasa tidak
bisa melanjutkan. Akhirnya ia biarkan dulu, padahal saat itu novel sudah 80%
rampung. Indah mengalihkan fokus ke naskah-naskah lain hingga Meragu
terlupakan. Sampai akhir tahun 2012 lalu ia memaksakan diri untuk
menyelesaikannya dan mengirimkannya ke penerbit.
Kemudian, satu
pertanyaan lain menyambung pertanyaan pertama saya, mengingat novel-novel Indah
terbit hampir berdekatan dan ia menyebutkan hanya perlu satu bulanan untuk
menyelesaikan naskah, apakah Indah tidak melakukan riset untuk memperkuat
naskahnya?
“Untuk hal di luar pengetahuan saya, riset adalah keharusan. Namun yang pasti, saya tidak mau menghabiskan waktu berlama-lama untuk riset. Kenapa? Karena saya sangat menghargai waktu. Jadi, saya berusaha memanfaatkan waktu seefisien mungkin,” Indah menerangkan.
Yang jelas, dalam melakukan riset ia berusaha keras
memiliki sumber yang valid. Tak hanya sekadar berselancar di internet, ia juga
membeli buku-buku yang berkaitan dengan tema yang ingin dipelajari. Juga
bertanya pada teman yang memiliki pengalaman. Sampai saat ini, buku-buku yang
dibaca anak-anaknya justru memberi bantuan luar biasa dalam pengarangan beberapa
novelnya. Indah adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua buah hati yang
menggemaskan. Indah mengaku belum pernah melakukan riset yang menyusahkan.
Mungkin karena ia terbiasa berusaha menulis apa yang dekat dengan kehidupannya,
atau minimal mempunyai sedikit pengetahuan tentang tema itu.
Berbicara soal anak (dan keluarganya), bagaimana
dengan tugasnya sebagai seorang istri sekaligus ibu?
Indah bercerita bahwa kedua buah hatinya sudah cukup
besar dan mandiri, jadi ia tinggal mengawasi. Si sulung misalnya, sudah tak
perlu diingatkan tentang jadwal hariannya yang cukup padat. Si bungsu yang baru
berusia 6 tahun pun selalu mengerjakan PR tanpa harus disuruh. Kebetulan Indah juga mempekerjakan asisten rumah
tangga, sehingga pekerjaan rumah tangga tak pernah membebani. Meski begitu, Indah
masih tetap memasak dan memastikan kebutuhan seisi rumah terpenuhi.
“Saya pasti bukan ibu yang sempurna, tapi saya tahu apa yang diinginkan atau dibutuhkan anak-anak dan suami,” sambungnya.
Kalau begitu, berarti keluarga sangat mendukung
kegiatan kepengarangan Indah?
Indah mengakui bahwa keluarganya sangat mendukung
kegiatan kepengarangannya. Kebetulan, ia bukan tipe orang yang bisa bekerja
kantoran, menjadi Penulis memang profesi idamannya. Lalu Indah sedikit curcol
tentang pengalaman bekerjanya. Ia pernah bekerja menjadi bankir. Setelah
menikah dan pindah dari Medan, Indah pernah bekerja di sebuah hotel di Cipanas.
Begitu punya anak, ia ternyata berubah menjadi seorang pencemas. Dalam sehari
bisa menelepon puluhan kali hanya untuk memastikan apakah anaknya makan dengan
baik, tidur dengan cukup, rewel atau tidak, bla bla bla. Hingga akhirnya Indah
memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga.
Indah merasa sungguh beruntung bahwa suaminya adalah orang yang
sangat pengertian. Suami mendukung semua keputusan yang Indah ambil dalam hidup
ini. Dia memercayai penilaian Indah dan menghormati keinginannya. Kemudian Indah berseloroh tentang suaminya,
“Satu-satunya larangannya adalah saat saya ingin menindik hidung.”
Saya tertawa kecil demi mendapati jawaban Indah itu. Satu keharuan bercampur kebanggaan dan kekaguman
terbetik dalam benak saya, ketika Indah menyebut,
“Suamilah yang mendorong saya untuk terus menulis. Anak-anak pun sama. Anak saya tidak pernah rewel saat melihat saya mengetik berjam-jam. Bahkan kalau saya tidak menulis, mereka akan protes.”
Di sini saya benar-benar diliputi rasa hangat dan
segera memanjatkan doa semoga Indah dan keluarga diberikan kesehatan dan
kebaikan setiap harinya. Amiin. Such a wonderful family.
Kembali ke topik utama kita, soal buku yang terbit
berdekatan, apa keuntungan dan/atau kerugian dari terbitnya beberapa novel
dalam waktu yang berdekatan? Bagaimana cara mempromosikan masing-masing
bukunya, apalagi jika penerbitnya berbeda?
Indah tidak pernah memikirkan secara khusus tentang keuntungan
atau kerugian dari penerbitan novel-novelnya dalam waktu yang hampir berdekatan itu. Tak dimungkirinya, sempat timbul
kekhawatiran juga di hatinya. Cemas dianggap kemaruk atau sekadar kejar
setoran. Bahkan gara-gara ini ia pernah disindir-sindir pengarang lain di akun
jejaring sosial. Sedih sebenarnya, dipojokkan hanya karena beberapa bukunya
terbit dalam waktu nyaris bersamaan.
“Boleh curcol dikit, ya? Bulan April 2013 ada 8 buku saya yang terbit. Empat buah buku stiker anak, 2 buah novel, 1 buku rumus matematika, dan 1 buku kumpulan kisah inspiratif. Semuanya saya kerjakan dalam waktu berbeda. Ada yang dikirim ke penerbit sejak akhir 2011, awal 2012, pertengahan tahun 2012, akhir tahun 2012, hingga awal tahun 2013. Ketika semuanya terbit di bulan yang sama, saya bisa apa? Orang tidak pernah tahu bahwa di balik itu semua ada kerja keras yang menyertainya. Saya harus memangkas jam tidur selama setengah tahun terakhir. Tidur 8 jam adalah suatu kemewahan bagi saya saat ini. Tapi, apakah saya merasa tersiksa? Tidak, kok. Saya malah bahagia karena menulis memang pekerjaan yang paling saya cintai.“Lagipula, saya sehari-hari tidak bekerja kantoran. Tidak berbisnis juga. Saya cuma menulis. Kalau tiap bulan saya bisa menyelesaikan minimal satu buah novel, itu bukan sesuatu yang hebat. Biasa saja.
“Kadang, kenyinyiran rekan seprofesi yang justru mengganggu. Tapi sudahlah, saya toh tidak bisa memuaskan semua orang. Dan memang tak berniat melakukan itu. Yang penting, pembaca saya merasa bahagia, itu fokusnya. Mereka malah tidak protes dengan munculnya novel saya dalam waktu nyaris bersamaan. Saya justru terharu tiap ada yang memberi kesan-kesan atas novel saya.“Saya tidak pintar berpromosi, tapi saya usahakan untuk rutin “jualan” di akun jejaring sosial. Saya mencintai semua buku saya, apalagi belakangan banyak yang terbit berdekatan. Saya juga menghargai semua penerbit yang sudah berkenan menerbitkan tulisan saya. Makanya, saya tidak pernah memasang foto cover novel lagi di Facebook atau Twitter. Cukup foto Hugh Grant atau Adam Levine saja, biar adil.”
Lagi-lagi saya tertawa kecil membaca jawaban Indah
ini, sebelum Indah melanjutkan,
“Oh ya, seputar ‘kejar setoran’ yang kadang ditudingkan kepada saya, sebenarnya agak menggelikan. Pada kenyataannya, saya ini termasuk sering ditipu urusan royalti. Tapi saya pikir tidak ada untungnya juga berkoar-koar soal ini. Peristiwa ini malah membuat saya menjadi kian selektif dalam memilih penerbit. Saya percaya, akan ada saatnya Tuhan membayar lunas berikut bunganya pada saya kelak. Saya adalah orang yang meyakini kalau ‘kepahitan’ saat ini hanyalah ‘uang muka’ untuk kebahagiaan di masa depan.“Jadi, saya menulis karena saya memang menyukai dunia ini. Siapa sih yang tidak suka uang? Tapi saya tidak sampai begitu sukanya hingga menjadikan uang sebagai prioritas dalam menulis. Kasarnya, tanpa harus mendapat penghasilan dari menulis pun hidup saya nyaman-nyaman saja. Tapi saya pasti tidak bisa bahagia tanpa menulis. Mau dikemanakan imajinasi saya seputar cowok-cowok menggemaskan itu?”
Dari membaca jawaban Indah yang cukup panjang itu,
saya mengerti bahwa persepsi yang membuat saya ter-WOW sehingga menerbitkan
beratus-ratus tanya tentang seorang pengarang kadang memang menyesatkan diri
sendiri. Bahkan, saya setuju dengan Indah, terlampau kejam jika kita menghakimi
seseorang sedang ‘kejar setoran’ hanya karena kebetulan buku-buku karya
pengarang tersebut terbit hampir berdekatan waktunya. Ada perjuangan di balik
setumpuk buku itu.
beberapa buku Indah Hanaco yang sudah terbit, gambar diolah dari: www.goodreads.com |
Saya sendiri merasa tidak pantas memiliki WOW-moment
ini karena sebagian besar saya belum membaca karya-karya mereka. Sindrom meragu
saya justru mengikat kuat dan mengadang niatan saya untuk mencicipi bagaimana
rasa dari racikan imajinasi yang diolah oleh para pengarang ini. Pada
akhirnya, saya harus berusaha makin bijak memandang semua hal. Janin dalam
kandungan saja sekarang bisa dilihat secara empat dimensi, maka setiap
permasalahan seharusnya pun bisa dilihat dari segala sisi. Tak hanya dipandang
satu sisinya saja.
Sebagai penutup artikel WOW-moment pertama ini, saya
sampaikan terima kasih kepada Indah Hanaco yang telah bersedia berbagi dan
meluangkan waktu membalas email pertanyaan yang saya kirim. Dan, khususnya
untuk para pengarang yang buku-bukunya banyak terbit di waktu yang hampir
berdekatan, semangat terus menulis, saya percaya kalian sedang menciptakan
dunia untuk memberi warna hidup semuanya, khususnya bagi pembaca seperti saya.
Terima kasih.
Selamat menulis, kawan pengarang;
Selamat membaca, kawan pembaca;
Dunia ini milik kita.
*profil Indah Hanaco akan saya posting secara terpisah dalam Bincang Pengarang
bulan depan. Saya berencana menjadikan Indah Hanaco sebagai Author of the
Month di bulan Juni 2013 mendatang.
WOW keren kak postingannya, jadi banyak tahu, dan makin semangat menulis! :D
ReplyDelete@Dheril....ayo semangat nulisnya, Dheril....:)
ReplyDeleteKayak Jennifer Echols sama Abbi Glines nih *taunya pengarang luar*. Btw bisa juga bukunya cetakan ulang beda penerbit. Kaya Orizuka misalnya, 2 buku keluar hampir bareng tapi cetak ulang dua2nya. Ehehe
ReplyDeleteHai mas ijul, qiqiqiqi ngapain tuh namaku disempilin juga:-) don't worry, aq msh abdi negara koq, jauh bgt deh dari modus kejar setoran or nguasain pasar, hihihi
ReplyDeletePas baca, Indah ini yang mana ya? Pas lihat fotonya... The cup of coffee, i love you dad. O itu ya bukunya dia. Suka buku yang ini.
ReplyDeleteKeren mba indaah..kdg jg buku bs terbit bareng krn jadwalnya kebetulan bareng pdhl ada yg udah antre lamaa dr zaman kapan hehe *curcol
ReplyDelete