Ukuran kesuksesan menjadi seorang ibu adalah…
Siapa yang berhak menentukan pilihan hidup kita?
Amelia, yang mendadak jadi ibu rumah tangga, berkeras mengatur hidupnya sendiri. Dia tidak mau orang lain ikut campur. Dengan bangga Amelia berkata lebih memilih cerdas ketimbang pintar. Namun saat dia tidak merasa pintar dan tindakannya tidak menunjukkan kecerdasan, Amelia mulai meragukan pilihannya. Apakah selama ini prinsipnya salah? Atau dia hanya tidak mampu berdiri tegak saat cobaan menghantam?
Judul: Memoir of a (So-Called) Mom
Pengarang: Poppy D. Chusfani
Editor: Helena Menta Dumaris
Sampul dan ilustrasi: eMTe
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 152 hlm
Harga: Rp40.000
Rilis: Maret 2014
ISBN: 978-602-03-0314-7
Menjadi ibu tentu merupakan cita-cita tertinggi setiap
perempuan yang memutuskan untuk menikah dan berumah tangga. Lebih dari sekadar
ibu, tetapi juga ingin menjadi ibu yang sempurna untuk anak-anaknya. Siapakah yang
berhak memberi stempel pengakuan itu? Kerabat? Orangtua? Lingkungan sekitar? Atau
cukup hanya diri sendiri dan keluarga?
Amelia yang lahir, tumbuh, dan hidup sehari-hari di
tengah keluarga besarnya tak jarang merasa insecure
atas segala pencapaian yang telah diupayakannya. Label anak bungsu yang
terstigma manja dan sulit mandiri mencoba ditepiskannya dengan menjalani rumah
tangga dengan caranya sendiri. Segala jurus dikerahkannya demi menjaga keluarga
kecilnya bahagia. Bersama Baron, Amelia mati-matian memenuhi segala kebutuhan,
lahir-batin, putri semata wayang mereka, Anika.
Judul novel tipis karya Mbak Poppy ini sudah menggunakan
kata “memoar” yang mungkin memang dimaksudkan demikian. Menurut KBBI daring:
me·mo·ar /mémoar/ n 1 kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yg ditulis dng menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yg dialami dan tt tokoh yg berhubungan dengannya; 2 catatan atau rekaman tt pengalaman hidup seseorang
…dan, tepat sekali. Begitulah novel ini bermakna. Secara gampang,
sebut saja bahwa novel ini semacam memoar dari kehidupan Mbak Poppy. Tak banyak
informasi pribadi yang saya punya tentang beliau, tapi setahu saya (sebagaimana
disebutkan dalam biodata pengarang) Mbak Poppy juga memiliki anak semata
wayang, putra alih-alih putri seperti tokoh Anika di novel ini. Hmm, jadi saya pikir,
bisa jadi ini memang memoar dari sepenggal kehidupan Mbak Poppy dalam fase
berumah tangga. Sekadar tebakan asal saja.
dari facebook Mbak Poppy di sini |
Isi novel ini sendiri sangat padat, menurut saya. Banyak sekali
topik di area domestik atau yang lebih luas, pergaulan masyarakat, disajikan di
sini. Bisa menjadi bahan diskusi dan perenungan. Mulai dari stigma anak bungsu,
dilema hidup bersama orangtua setelah menikah, dibanding-bandingkan
antarsaudara, prinsip mendidik anak, sampai hubungan emosional yang erat antara
suami-istri-dan-anak. Yang terang, buku ini cocok banget dibaca ibu-ibu muda
atau calon ibu yang sudah akan menghadapi jalan berliku penuh tantangan dalam
membesarkan putra-putrinya.
Gaya penulisan seperti coretan diari, meski tidak
disertai keterangan kronologi waktunya. Mengalir cepat serupa serentetan curhat
sahabat di sore hari. Segala yang menjadi penyebab gundah dilontarkan Amelia
melalui narasi-narasi panjang minim dialog langsung. Ada sih dialog, tapi
merupakan penceritaan dari sisi Amelia. Andai boleh memilih, saya lebih
menyukai novel ini dibuat dengan format novel konvensional, plot dengan narasi
dan dialog yang seimbang. Jujur saja, ada beberapa part yang saya lompati karena sebagian besar membahas hal-hal umum
saja.
Meskipun minim dialog, namun interaksi para tokohnya
lumayan bisa terasa dari curhatan Amelia atas orang-orang di sekitarnya, meski
lagi-lagi karena format dari novel ini sehingga membatasi tersajinya
kompleksitas interaksi di antara mereka. Soal diksi? Hmm, jempol empat deh buat
Mbak Poppy. Keren! Kalaulah ada kesempatan, mau banget novel ini direkonstruksi
menjadi novel dengan format konvensional, dan saya akan tetap antusias
membacanya.
Jujur saja, saya agak kesulitan menikmati tulisan dengan
narasi yang panjang. Entahlah, saya selalu merasa capek dan ngos-ngosan begitu
membaca larik-larik kalimat yang bertumpuk-tumpuk. Jika memang tak ditambahkan
dialog, akan sedikit melegakan jika kalimat itu dipenggal-penggal dan tak
disatukan dalam satu paragraf. Minimal, ada jeda buat bernapas. Novel ini
kebanyakan diisi dengan paragraf-paragraf yang panjang begitu. Meski ada sedikit
ilustrasi berupa item-item rumah tangga (tas, sisir, boneka, dsb) di antara
narasinya, tetap saja, saya merasa capek.
Overall, such a fun
read. Ada banyak pelajaran yang bisa membuka cakrawala pembaca. Paling tidak,
buat yang sedang mempersiapkan diri menjadi orangtua bisa lebih waspada dan
melengkapi diri dengan berbagai wawasan seputar dunia anak, sehingga tidak
kagok nantinya. Ditunggu novel metropop selanjutnya, Mbak Poppy!
My rating: 3 out of 5 stars.
Tertarik melihat ilustrasi sampul bukunya, bagus banget.
ReplyDeleteSalut ada cowok suka metropop...