Patahkan saja tangannya, biar dia jatuh cinta...
Read from January 26 to 28, 2012
Rating: 3 out of 5 star
Judul: Sunshine Becomes You
Penulis: Ilana Tan
Pewajah Sampul: yustisea.satyalim@gmail.com
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 432 hlm
Harga: Rp65.000 (disc 20% pre-order)
Rilis: Januari 2012 (cet. Ke-1)
ISBN: 978-979-22-7813-2
Summary
Entah sedang sial atau bagaimana, hari itu Alex Hirano harus bertemu dan berurusan dengan Mia Clark. Bahkan, mereka pun tak saling mengenal, namun pada hari pertama perjumpaan mereka, Mia malah mencederai tangannya, membuatnya harus membatalkan jadwal konsernya, dan menderita kerugian material yang tidak sedikit. Dan, dengan diliputi kemarahan yang sudah memuncaki ubun-ubunnya, Alex menyetujui tawaran Mia untuk menebus kesalahannya dengan menjadi ‘pesuruh’nya hingga tangan Alex pulih.
Seperti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, begitulah yang terjadi pada Alex dan Mia. Intensitas pertemuan mereka, biar pun selalu diliputi percekcokan, akhirnya menerbitkan benih-benih asmara di antara keduanya. Bahkan, Alex bersedia bersaing mendapatkan cinta Mia dengan lelaki mana pun, termasuk adiknya sendiri. Dan, itu bukan sifat Alex. Dia adalah lelaki yang tak mudah takluk pada wanita. Jadi, mengapa kali ini Mia berbeda? Mengapa gadis yang sudah membuatnya tak lagi bisa bermain piano itu justru diperjuangkannya mati-matian? Simak saja kisah lengkapnya dalam novel terbaru dari novelis metropop laris serial 4 Musim, Ilana Tan ini.
Wah, ini menjadi rekor tersendiri bagi saya. Sampai dengan saat ini, saya jarang sekali pre-order buku. Saya tak pernah memiliki ambisi untuk menjadi yang ‘pertama’ membaca sebuah buku. Kecuali ketika hendak terbitnya New Moon (don’t laughing! Gw bakarin kemenyan lu!). Yap, gegara saya begitu menikmati Twilight, saya jadi tak sabar baca kelanjutan ceritanya dan segera pre-order begitu Gramedia membuka layanan pre-order buku keduanya. Jadi, ketika saya secara impulsif ikut mendaftar pre-order buku ini, saya memang tak punya alasan apa-apa. Selain bonus tanda tangan, autograph copy, dan diskonnya, tentu saja.
Well, sejauh ini saya pun nggak ngebet-ngebet amat sama Ilana Tan, sebenarnya. Meskipun telah membaca keempat novel seri musimnya, saya tidak begitu ‘terpesona’ dengan gaya menulisnya. Tentu saja, novel-novelnya mengalir lancar dan berhasil memadukan unsur-unsur romantisme dalam setiap kisahnya. Namun, ya, begitu saja, tidak pernah membuat saya yang...WOW!. Termasuk setelah menuntaskan baca novel Sunshine Becomes You ini.
First, salahkan Gayle Forman yang menghadirkan If I Stay dengan suasana haru yang sukses membirukan hati saya itu. #huhuhu. If I Stay membuat saya bercucuran air mata dan seolah ikut menjadi saksi mata kesedihan yang dialami Mia Hall. Sedangkan pada Sunshine Becomes You ini, sedikit pun saya tak berkaca-kaca. Ada apa dengan saya? Saya begitu sulit untuk terlibat jauh dan ikut meresapi kondisi Mia Clark. Ups, apakah ada yang menarik di sini? Mia Hall = Mia Clark. Fiuhhh, sekali membandingkan, malah ada bahan pembanding yang lain. And, you know what? Mia Hall = Mia Clark = siswa Juilliard. What a coincidence! Adam = Alex? Berinisial sama (A), dengan keahlian kurang lebih sama, musisi. Great!
Apakah buku ini romantis? Iya! Bahkan, saya sempat setuju dengan dugaan salah satu teman bahwa novel ini akan dirilis bertepatan dengan hari Valentine. Ternyata tidak. Namun demikian, novel ini memang memiliki standar romantis yang cukup. Apalagi ide tentang pesona-racikan-kopi-Mia. Hmm, I do love coffee, dan saya percaya bahwa kopi adalah salah satu hal seksi di dunia ini. Seandainya saya bisa bertemu dengan pasangan yang bisa membuat kopi yang super-dahyat, saya pasti jatuh cinta! Dan, Mia Clark yang mampu meracik kopi merek apa pun menjadi kopi super mantap ini sudah pasti bakal menjadi gadis impian bagi para penikmat kopi. Yummy.
Tapi, cerita yang sedemikian sederhana (dua orang bertemu tak sengaja, membawa petaka, cat and dog scene, love competition, dan tragedi) pada akhirnya tidak meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi saya. Dan, hey, hey, hey...rasanya saya bisa praktik baca kilat satu detik-satu halaman pada novel ini. #boong.banget. Hehehe, beberapa halaman saya skimming karena tidak ada detail penting untuk menunjang perkembangan cerita. Usual events yang tidak membuat konflik menjadi lebih tajam saya baca cepat sekali. Saya cuman pengin segera sampai di tujuan akhir perjalanan Alex-Mia. Too bad.
Dari satu adegan, saya masih bertanya-tanya. Bagaimana seseorang yang salah satu tangannya masih diperban bisa mengangkat seseorang yang lain? (hlm. 248). Bahkan orang tersebut tidak diberikan gambaran ekspresi kesakitan/kesulitan ketika melakukannya. Agak kurang logis, menurut saya.
Padahal, teknik Ilana untuk menggantung beberapa adegan di setiap ujung chapter sungguh membangkitkan gairah membaca. Bikin penasaran! Belum lagi, kepiawaiannya untuk memutar sudut pandang si pencerita. Point of view (PoV) yang digunakan seluruhnya adalah orang ketiga yang berpindah-pindah ke banyak karakter, di mana perpindahan PoV itu berlangsung dengan mulus. Ini merupakan salah satu unsur penulisan yang saya sukai dari Ilana Tan, yang juga saya dapatkan di Spring in London.
Sayang sekali, Ilana kembali menyia-nyiakan setting lokasi yang dipilihnya. Saya tidak mendapati upaya penulis untuk mengajak pembacanya merasai suasana kota Big Apple, New York. Padahal, New York menjadi salah satu kota dunia paling sering dibicarakan. Tetapi, saya sudah maklum, karena menurut saya Ilana memang tidak pernah mengeksplorasi lokasi ceritanya dengan optimal dan hanya terasa digunakan untuk melengkapi keterangan tempat bagi plot yang disusunnya saja.
Fiuhhh, saya pun terkesiap ketika menyadari bahwa tak banyak quotes menarik yang saya dapatkan dari novel ini. Salah duanya paling hanya yang ini:
Well, sejauh ini saya pun nggak ngebet-ngebet amat sama Ilana Tan, sebenarnya. Meskipun telah membaca keempat novel seri musimnya, saya tidak begitu ‘terpesona’ dengan gaya menulisnya. Tentu saja, novel-novelnya mengalir lancar dan berhasil memadukan unsur-unsur romantisme dalam setiap kisahnya. Namun, ya, begitu saja, tidak pernah membuat saya yang...WOW!. Termasuk setelah menuntaskan baca novel Sunshine Becomes You ini.
First, salahkan Gayle Forman yang menghadirkan If I Stay dengan suasana haru yang sukses membirukan hati saya itu. #huhuhu. If I Stay membuat saya bercucuran air mata dan seolah ikut menjadi saksi mata kesedihan yang dialami Mia Hall. Sedangkan pada Sunshine Becomes You ini, sedikit pun saya tak berkaca-kaca. Ada apa dengan saya? Saya begitu sulit untuk terlibat jauh dan ikut meresapi kondisi Mia Clark. Ups, apakah ada yang menarik di sini? Mia Hall = Mia Clark. Fiuhhh, sekali membandingkan, malah ada bahan pembanding yang lain. And, you know what? Mia Hall = Mia Clark = siswa Juilliard. What a coincidence! Adam = Alex? Berinisial sama (A), dengan keahlian kurang lebih sama, musisi. Great!
Apakah buku ini romantis? Iya! Bahkan, saya sempat setuju dengan dugaan salah satu teman bahwa novel ini akan dirilis bertepatan dengan hari Valentine. Ternyata tidak. Namun demikian, novel ini memang memiliki standar romantis yang cukup. Apalagi ide tentang pesona-racikan-kopi-Mia. Hmm, I do love coffee, dan saya percaya bahwa kopi adalah salah satu hal seksi di dunia ini. Seandainya saya bisa bertemu dengan pasangan yang bisa membuat kopi yang super-dahyat, saya pasti jatuh cinta! Dan, Mia Clark yang mampu meracik kopi merek apa pun menjadi kopi super mantap ini sudah pasti bakal menjadi gadis impian bagi para penikmat kopi. Yummy.
Tapi, cerita yang sedemikian sederhana (dua orang bertemu tak sengaja, membawa petaka, cat and dog scene, love competition, dan tragedi) pada akhirnya tidak meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi saya. Dan, hey, hey, hey...rasanya saya bisa praktik baca kilat satu detik-satu halaman pada novel ini. #boong.banget. Hehehe, beberapa halaman saya skimming karena tidak ada detail penting untuk menunjang perkembangan cerita. Usual events yang tidak membuat konflik menjadi lebih tajam saya baca cepat sekali. Saya cuman pengin segera sampai di tujuan akhir perjalanan Alex-Mia. Too bad.
Dari satu adegan, saya masih bertanya-tanya. Bagaimana seseorang yang salah satu tangannya masih diperban bisa mengangkat seseorang yang lain? (hlm. 248). Bahkan orang tersebut tidak diberikan gambaran ekspresi kesakitan/kesulitan ketika melakukannya. Agak kurang logis, menurut saya.
Padahal, teknik Ilana untuk menggantung beberapa adegan di setiap ujung chapter sungguh membangkitkan gairah membaca. Bikin penasaran! Belum lagi, kepiawaiannya untuk memutar sudut pandang si pencerita. Point of view (PoV) yang digunakan seluruhnya adalah orang ketiga yang berpindah-pindah ke banyak karakter, di mana perpindahan PoV itu berlangsung dengan mulus. Ini merupakan salah satu unsur penulisan yang saya sukai dari Ilana Tan, yang juga saya dapatkan di Spring in London.
Sayang sekali, Ilana kembali menyia-nyiakan setting lokasi yang dipilihnya. Saya tidak mendapati upaya penulis untuk mengajak pembacanya merasai suasana kota Big Apple, New York. Padahal, New York menjadi salah satu kota dunia paling sering dibicarakan. Tetapi, saya sudah maklum, karena menurut saya Ilana memang tidak pernah mengeksplorasi lokasi ceritanya dengan optimal dan hanya terasa digunakan untuk melengkapi keterangan tempat bagi plot yang disusunnya saja.
Fiuhhh, saya pun terkesiap ketika menyadari bahwa tak banyak quotes menarik yang saya dapatkan dari novel ini. Salah duanya paling hanya yang ini:
“...Maksudku, aku penari. Menari adalah hidupku. Apalagi yang bisa kulakukan kalau aku tidak boleh menari?” (hlm. 264)
“Yang bisa membuatku merasa lebih baik adalah kopimu, Clark” (hlm. 313)
Sedangkan quote yang juga dipasang di sampul depan novel ini, “Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kaupercayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku,” sepertinya pernah saya dengar/baca sebelumnya, jadi tidak memberikan kesan apa pun. Memang sebagian besar, pilihan diksi dalam novel ini sangat umum dan biasa. Tidak ada yang membuat hati saya tergetar.
Tapi, wowsaaa.... saya musti nyelametin tim produksi novel ini. Wew, sepanjang pengamatan sih tak begitu banyak typo di novel ini. Thank GOD! Padahal di Spring in London, saya mendapatkan begitu banyak typo. Yang saya temukan hanya ini:
Tapi, wowsaaa.... saya musti nyelametin tim produksi novel ini. Wew, sepanjang pengamatan sih tak begitu banyak typo di novel ini. Thank GOD! Padahal di Spring in London, saya mendapatkan begitu banyak typo. Yang saya temukan hanya ini:
(hlm. 38) jelana jinsnya = celana jinsnya
(hlm. 40) tersenggal = tersengal
(hlm. 46) merasakaan = merasakan
(hlm. 143) Ales = Alex
Sedangkan kalimat yang ini masih membuat saya bingung:
...Karena apabila Mia memberitahu Ray bahwa Alex menemuinya untuk meminta maaf, maka Mia juga harus memberitahu Ray bahwa Alex meminta berarti kepadanya karena mereka sempat bertengkar, .....”
Overall, saya menikmati cerita yang mengalir lancar ini, meskipun saya kurang begitu dapet feel dari segi pokok kisah dan konfliknya. Dari awal, saya sudah memaksa otak untuk tak menayangkan slide novel/buku romantis lain, tapi tak bisa. Kilasan pengetahuan yang sudah saya miliki nyatanya memang menjadi racun yang membuat saya kurang bisa menikmati novel ini. 3 bintang saja saya sematkan pada novel ini.
Selamat membaca, kawan!
Selamat membaca, kawan!
Haloo Mas. Sepertinya kesanku wktu baca sunshine becomes you sama nih kaya mas ijul. Ga nangis, berkaca kaca pun engga. Padahal kalo baca sad ending, mewek gtuu -__- apakah saya berubah menjadi tegar? *preet
ReplyDeleteaku malah bosen sama jalan cerita novel ini, terlalu lemah dan mendayu-dayu. tapi lumayan manis lah :D
ReplyDeletebaca juga review ku di http://beautiw.blogspot.com/2012/01/review-of-ilana-tans-sunshine-becomes.html yaa, thanks :D
Weks aku malah belum buat reviewnya, memang sih dibanding Autumn yang terbaru ini kurang greget, formulanya sama. Yang saya sesalkan sama dengan Ijul, nuansa kotanya kurang terasa dan atomsfer Mia sebagai penyanyi kurang dapet IMO.
ReplyDeleteTapi tetap saja Ilana Tan mampu meramu sehingga buku ini dapat segera dihabiskan dalam waktu sehari saja, penasaran dengan endingnya walau agak ketebak kalau Ilana jarang-jarang tidak memberikan kejutan di akhir buku :)
@Hanifah...wahhh, bagus donk kalo sudah tegar, berarti nggak galau lagi, hihihi... #ditampolkulkas
ReplyDelete@Tiwi...langsung ke TKP, ehmm...yap, beberapa bagian mayan manis sih...:)
@Mia...iya, sayang banget ya, udah mantep banget ngambil background Juilliard di New York, eh, sama sekali nggak dibahas, too bad...;(
Gaada typo? Hello gue aja ngitung typonya, gimana sih mas. Bacanya yg bener dong. Kalo soal quotes2 gitu semua penuliskan juga nyari resensi. Sama ajalah semuanya.
ReplyDelete@Anonymous...hai-hai, seinget saya di resensi saya tidak bilang tidak ada typo lhooo, ini yang saya tuliskan, "Wew, sepanjang pengamatan sih tak begitu banyak typo di novel ini."
ReplyDeleteDan, itu saya nge-list ada 4 typo yang saya temukan. Sekali lagi, saya tidak pernah bilang, "nggak ada typo", but, thankyou udah 'awas' dengan typo di novel ini...
Untuk soal quote, saya tak paham maksud Anda, "semua penulis kan juga nyari resensi"? maksudnya apa, ya?
Btw, thankyou udah mampir
Hello Kak Ijul. Quote itu memang pernah ditulis Ilana Tan sebelumnya, di Spring in London. Kalimat itu diucapkan oleh Dany untuk Naomi. Jadi, nggak heran kalo Kak Ijul merasa pernah membaca quote itu. :)
ReplyDeleteMemang tidak sama persis, tetapi mirip.
Regards,
=R=
Awalnya gak ada sedikitpun niat buat baca buku ini, cuman karena udah pernah baca novel empat musimnya mbsk Ilana Tan, dan lumayan menghibur ceritanya menurutku. Yah dgn terpaksa saya mulai membaca novel ini. Awalnya biasa aja ... yah namanya novel romantis saya pikir akan berakhir bahagia. Tapi ternyata saya salah dan mulai merasa pasti ceritanya akan berakhir tragedi setelah membaca bahwa karakter Mia Clark sering minum obat (yah feeling aja dan ternyata emang benar). Singkatnya saya merasa ada kemiripan dengan jalan hidup saya dan saya merasa meliat diri saya pada novel ini. Yah bukan karena plot ceritanya di New york (terus terang saya belum pernah ke amrik)dan saya bukan juga musisi (gimana mo jadi musisi, nada aja sama sekali buta). Yang saya rasakan kemiripan dengan cerita saya adalah saat membaca bab-bab terakhir dlm buku ini. Saat almarhum pacar saya masuk rumah sakit, menolak menemui saya. Kata-kata ortunya yang membesarkan hati saya. Kata-katanya hampir mirip walo gak bisa dibilang sama persis. Bab-bab terakhir itu yang membuat mata saya berkaca2 padahal Saya termasuk orang yang gak mudah untuk sedih apalagi nangis. Klo novel Ilana Tan yang Autumn in Paris gak bikin saya mewek. lain dengan novel ini.Yah inilah sedikit pendapat pribadi saya mengenai novel ini. Salam kenal, bro.
ReplyDeletebisa ga nih beli buku ini secara online?? disini ko ga dpet2 ya ... plz answer !!
ReplyDeleteaku emang dari awal gak tertarik sama buku yang satu ini, tapi dipaksa temen-temenku, tapi pas aku udah selesai baca gak ada kesan menarik sama sekali (menurutkuuu), menurutku ceritanya flat-flat aja sihhh tapii yah selera orang kan beda-beda.:)
ReplyDeletekemaren mau beli ga jadi gara" lebih milih yang lain sekarang malah jadi penasaran hehehe
ReplyDeletesudah baca semua novel ilana tan yang tetralogy 4 musim n sunshine becomes you, aku masih nunggu novel terbarunya . . :)
ReplyDeletejauh lebih bagus yg 4 musim dulu, ini monoton dan ketebak banget ending nya. terlalu tebal untuk ukuran alur cerita yg sperti ini
ReplyDeletepunya ebooknya sunshine becomes you ga?aku mau donk klo punya :D
ReplyDelete