Cinta membutuhkan pengorbanan.
Judul: Konser
Penulis: Meiliana K. Tansri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta terlarang, Keluarga, Perjuangan, Pengorbanan
Tebal: 296 halaman
Harga: Rp40.000 (Harga Toko)
Rilis: Agustus 2009
Sudah lama sekali saya tidak membaca novel romantis yang menggunakan kata-kata baku sesuai EYD. Hahahaha.... Yah, harap maklum saja, terkadang novel-novel metropop memang tampil dalam kemasan penuh bahasa prokem, yang menjadi daya tarik pemikatnya, yang berhasil memikat saya. Maka, terasa sangat berat bagi saya menyusuri liku-liku terjal plot yang dibangun Meiliana dalam novelnya ini. Entahlah, bagi saya novel ini memang agak sedikit nyastra (dalam hal tata bahasa). Dan, memang agak berat isi kandungannya.
Membaca Konser, saya seperti membaca novel-novel karangan beberapa penulis angkatan lama, semisal Mira W., Marga T., ataupun Maria A. Sardjono. Sangat old fashioned. Namun, yang patut diacungi jempol adalah Meiliana menghadirkan konflik yang dekat sekali dengan keseharian. Jadi, meskipun melayang-layang dengan gaya bahasa langitan dan pilihan diksi yang mengagumkan, novel ini tetap membumi berkat konflik itu.
Membaca buku sekaligus berharap dapat membuat resensinya dan mempostingnya di blog rasanya menjadi agak bertimpangan belakang ini, bagi saya. Dulu (sebelum memutuskan membuat blog resensi), saya menikmati membaca buku tanpa tendensi apapun. Saya baca karena saya suka. Kalaupun di akhir halaman, saya mencaci atau memuji (memberikan penilaian terhadap buku), itu murni sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan atau kegagalan penulis "memanjakan" imajinasi saya. Akan tetapi, belakangan saya mulai terkontaminasi dengan segala hal tentang "penghakiman" dari setiap buku yang saya baca bahkan sejak dari lembar pertamanya. Pilihan diksi, plot, karakter tokohnya, gaya bahasa, hingga editan-nya sudah saya korek-korek dan saya cari dimana letak salahnya dari awal saya membaca. Akumulasi dari semuanya, tak jarang saya enggan mengakui keunggulan-keunggulan nyata yang ada dalam buku tersebut. Menyedihkan sekali saya!
Termasuk pula ketika saya mulai membaca awal kisah racikan Meiliana yang berlatar panggung dunia seni musik klasik ini. Saya memulainya dengan, "Okay, apa yang tak benar dari novel ini?", dan karenanya saya tercekik rasa benci untuk menyadari bahwa novel ini bertabur keindahan. Saya sempat menghujat bahwa Konser terlalu puitis, terlalu tinggi bahasa, terlalu ini, terlalu itu...dan terlalu lainnya. Padahal, pada kenyataannya secara sadar atau tidak saya sudah terseret begitu jauh dalam cerita novel ini. Dan, pada akhirnya saya dengan tulus (tanpa paksaan) mengangguk takzim dan memuji, "Ya, novel ini memang bagus (sekali)."
Secara jujur, saya sangat menikmati membaca novel ini. Dan, saya tak ragu untuk menganjurkan bagi siapapun yang belum membaca silakan segera membacanya. You'll love it like I do, I promise.
Ceritanya sendiri tak jauh seperti halnya galian cerita pada novel-novel yang lainnya. Bukan tema baru, untung background dunia seni musik klasiknya cukup membantu mengemas cerita menjadi sedikit berbeda dibanding novel lain. Cinta terlarang. Cinta berjurang usia (tokoh perempuan digambarkan berumur 18 tahunan sedangkan tokoh laki-lakinya dideskripsikan 20 tahun lebih tua). Cinta terpaksa. Tragedi dibangun dari situasi yang serba berpagar, penulis seperti sedang mengajukan sebuah pertnayaan,"Apakah pagar larangan ini harus diterobos demi sebentuk cinta sejati?"
Meiliana berhasil mengocok emosi saya lewat kisah tragis-manisnya ini, meskipun tak sampai membuat saya tercekat dan menitikkan air mata. Tak kurang-kurang saya seolah terlibat dalam beragam konflik yang dibangunnya. Seolah saya menjadi salah satu tokoh di dalam novelnya itu. Meksipun hanya tokoh pinggiran yang bertugas menonton adegan demi adegan yang dimainkan dengan sempurna oleh para aktor-aktris utamanya. Menakjubkan. Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu saya juga mendapati memang cerita yang dibuat Meiliana agak-agak terlalu sinetron, sedih berkepanjangan dan tangis-tangisan. Hmm, tapi masih lumrah dan berlalu mulus karena ditangani dengan tepat dan serius. Bukan sengaja dilebih-lebihkan.
Seperti ketika membaca novel apapun, saya juga berusaha menebak-nebak alur Konser ini. Sayang, beberapa kali tebakan saya meleset. Salah satu yang sangat jauh melenceng adalah tokoh Sastro, si pengagum barang-barang antik yang di paruh awal novel menyelamatkan Kirana (tokoh utama) namun juga "dikondisikan" (paling tidak saya menduganya begitu) sebagai tokoh yang patut dicurigai sebagai tokoh antagonis dalam novel ini. Nyatanya, tebakan saya meleset. Hal tersebut yang membuat saya makin menikmati sajian istimewa Meiliana dalam Konser megah rekaannya ini.
Oya, mengapa Konser menjadi benang merah sehingga diangkat menjadi judul novel ini? Sejauh yang saya tangkap, dari konser inilah kisah cinta terpaksa Jafar (tokoh utama) dengan Elise (tokoh pendamping perempuan) terjalin, dan berkat konser pula ia bertemu dengan Kirana, meskipun berkat konsernya pula ia kehilangan Kirana yang ternyata mulai jatuh cinta pada Sastro. Namun, tak jadi soal karena berkat konser pula Jafar menyadari bahwa ketulusan cinta Elise seharusnya tidak ia sia-siakan. Mungkin saja kalau ia tidak terlambat menyadarinya, ia tak harus merelakan Elise dan calon putrinya pergi secepat itu.
Salut pula, untuk cetakan dan editan-nya, rasa-rasanya saya tidak menemukan ada kesalahan.
Okay, enjoy reading, people!
Sinopsis (cover belakang)
Judul: Konser
Penulis: Meiliana K. Tansri
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tema: Cinta terlarang, Keluarga, Perjuangan, Pengorbanan
Tebal: 296 halaman
Harga: Rp40.000 (Harga Toko)
Rilis: Agustus 2009
Sudah lama sekali saya tidak membaca novel romantis yang menggunakan kata-kata baku sesuai EYD. Hahahaha.... Yah, harap maklum saja, terkadang novel-novel metropop memang tampil dalam kemasan penuh bahasa prokem, yang menjadi daya tarik pemikatnya, yang berhasil memikat saya. Maka, terasa sangat berat bagi saya menyusuri liku-liku terjal plot yang dibangun Meiliana dalam novelnya ini. Entahlah, bagi saya novel ini memang agak sedikit nyastra (dalam hal tata bahasa). Dan, memang agak berat isi kandungannya.
Membaca Konser, saya seperti membaca novel-novel karangan beberapa penulis angkatan lama, semisal Mira W., Marga T., ataupun Maria A. Sardjono. Sangat old fashioned. Namun, yang patut diacungi jempol adalah Meiliana menghadirkan konflik yang dekat sekali dengan keseharian. Jadi, meskipun melayang-layang dengan gaya bahasa langitan dan pilihan diksi yang mengagumkan, novel ini tetap membumi berkat konflik itu.
Membaca buku sekaligus berharap dapat membuat resensinya dan mempostingnya di blog rasanya menjadi agak bertimpangan belakang ini, bagi saya. Dulu (sebelum memutuskan membuat blog resensi), saya menikmati membaca buku tanpa tendensi apapun. Saya baca karena saya suka. Kalaupun di akhir halaman, saya mencaci atau memuji (memberikan penilaian terhadap buku), itu murni sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan atau kegagalan penulis "memanjakan" imajinasi saya. Akan tetapi, belakangan saya mulai terkontaminasi dengan segala hal tentang "penghakiman" dari setiap buku yang saya baca bahkan sejak dari lembar pertamanya. Pilihan diksi, plot, karakter tokohnya, gaya bahasa, hingga editan-nya sudah saya korek-korek dan saya cari dimana letak salahnya dari awal saya membaca. Akumulasi dari semuanya, tak jarang saya enggan mengakui keunggulan-keunggulan nyata yang ada dalam buku tersebut. Menyedihkan sekali saya!
Termasuk pula ketika saya mulai membaca awal kisah racikan Meiliana yang berlatar panggung dunia seni musik klasik ini. Saya memulainya dengan, "Okay, apa yang tak benar dari novel ini?", dan karenanya saya tercekik rasa benci untuk menyadari bahwa novel ini bertabur keindahan. Saya sempat menghujat bahwa Konser terlalu puitis, terlalu tinggi bahasa, terlalu ini, terlalu itu...dan terlalu lainnya. Padahal, pada kenyataannya secara sadar atau tidak saya sudah terseret begitu jauh dalam cerita novel ini. Dan, pada akhirnya saya dengan tulus (tanpa paksaan) mengangguk takzim dan memuji, "Ya, novel ini memang bagus (sekali)."
Secara jujur, saya sangat menikmati membaca novel ini. Dan, saya tak ragu untuk menganjurkan bagi siapapun yang belum membaca silakan segera membacanya. You'll love it like I do, I promise.
Ceritanya sendiri tak jauh seperti halnya galian cerita pada novel-novel yang lainnya. Bukan tema baru, untung background dunia seni musik klasiknya cukup membantu mengemas cerita menjadi sedikit berbeda dibanding novel lain. Cinta terlarang. Cinta berjurang usia (tokoh perempuan digambarkan berumur 18 tahunan sedangkan tokoh laki-lakinya dideskripsikan 20 tahun lebih tua). Cinta terpaksa. Tragedi dibangun dari situasi yang serba berpagar, penulis seperti sedang mengajukan sebuah pertnayaan,"Apakah pagar larangan ini harus diterobos demi sebentuk cinta sejati?"
Meiliana berhasil mengocok emosi saya lewat kisah tragis-manisnya ini, meskipun tak sampai membuat saya tercekat dan menitikkan air mata. Tak kurang-kurang saya seolah terlibat dalam beragam konflik yang dibangunnya. Seolah saya menjadi salah satu tokoh di dalam novelnya itu. Meksipun hanya tokoh pinggiran yang bertugas menonton adegan demi adegan yang dimainkan dengan sempurna oleh para aktor-aktris utamanya. Menakjubkan. Meskipun demikian, pada saat-saat tertentu saya juga mendapati memang cerita yang dibuat Meiliana agak-agak terlalu sinetron, sedih berkepanjangan dan tangis-tangisan. Hmm, tapi masih lumrah dan berlalu mulus karena ditangani dengan tepat dan serius. Bukan sengaja dilebih-lebihkan.
Seperti ketika membaca novel apapun, saya juga berusaha menebak-nebak alur Konser ini. Sayang, beberapa kali tebakan saya meleset. Salah satu yang sangat jauh melenceng adalah tokoh Sastro, si pengagum barang-barang antik yang di paruh awal novel menyelamatkan Kirana (tokoh utama) namun juga "dikondisikan" (paling tidak saya menduganya begitu) sebagai tokoh yang patut dicurigai sebagai tokoh antagonis dalam novel ini. Nyatanya, tebakan saya meleset. Hal tersebut yang membuat saya makin menikmati sajian istimewa Meiliana dalam Konser megah rekaannya ini.
Oya, mengapa Konser menjadi benang merah sehingga diangkat menjadi judul novel ini? Sejauh yang saya tangkap, dari konser inilah kisah cinta terpaksa Jafar (tokoh utama) dengan Elise (tokoh pendamping perempuan) terjalin, dan berkat konser pula ia bertemu dengan Kirana, meskipun berkat konsernya pula ia kehilangan Kirana yang ternyata mulai jatuh cinta pada Sastro. Namun, tak jadi soal karena berkat konser pula Jafar menyadari bahwa ketulusan cinta Elise seharusnya tidak ia sia-siakan. Mungkin saja kalau ia tidak terlambat menyadarinya, ia tak harus merelakan Elise dan calon putrinya pergi secepat itu.
Salut pula, untuk cetakan dan editan-nya, rasa-rasanya saya tidak menemukan ada kesalahan.
Okay, enjoy reading, people!
Sinopsis (cover belakang)
Fajar, pianis andalan Simfoni Bintang, sangat berambisi mengadakan konser tunggal. Sayangnya, dari segi finansial sangat tidak mungkin. Karena itu dia merasa seperti mendapat durian jatuh ketika Elise, putri seorang konglomerat, jatuh cinta padanya. Mereka pun menikah: Elise yang mencintainya dengan sangat tulus, Fajar yang berharap mertuanya akan membiayai konsernya.
Namun skenario Tuhan berjalan ke arah lain. Setelah menikah, Fajar menemukan cinta sejatinya di orkestra tempatnya bekerja. Gadis belia itu, Kirana, datang dengan keluguannya yang memesona, dengan gesekan biolanya yang menjadikannya bintang simfoni sekelas Fajar dalam sekejap.
Fajar pun bimbang, dia ingin meninggalkan istrinya, melupakan konser yang sudah di ambang mata, demi mengejar cintanya pada Kirana. Namun Elise tahu dan tidak rela melepas suaminya. Dia bertekad mempertahankan rumah tangganya, walaupun berarti mengorbankan nyawanya sendiri....