Tuesday, January 31, 2012

[Kabar Penulis] Alberthiene Endah and....TRUE LOVE?

Oke, saya mencoba menghadirkan rubrik baru di blog sederhana ini. Kabar Penulis. Hmm...sebenarnya bisa saja rancu dengan rubrik Book News atau New Release, tapi Kabar Penulis juga mungkin akan diisi dengan kabar-kabar terbaru sang penulis kesayangan, tentu saja, kebanyakan akan diisi dengan kabar-kabar seputar novelis metropop dan karya-karya mereka.

Nah, di postingan pertama ini saya ingin berbagi kabar soal Alberthiene Endah. One of my favorite author. Karena mbak yang satu ini lah saya kepincut novel metropop. Karena dia lah, dalam banyak kesempatan saya berusaha memperkenalkan novel metropop kepada orang-orang yang belum tahu, mencibir, atau bahkan memandang sebelah mata saja.

Oke kabar terbaru dari beliau adalah....

source: official twitter Alberthiene Endah

Jadi mbak AE ini mengabari bahwa novel-novelnya yang sudah terbit dalam seri Lajang Kota akan diterbitkan ulang. Tentu saja, saya sudah punya semuanya, jadi mungkin saya akan melewatkannya. Bagi kalian yang belum berkesempatan membeli/membaca...gih ditungguin ya...



Nah, kabar lain yang membahagiakan bagi saya selaku pengagum karya-karya AE adalah yang di-tweet-nya berikut ini:


Nah, yang masih harus ditebak adalah, apakah True Love ini karya fiksi? Ataukah ini another autobiography? Oiya...because I am a fiction-addictive reader, jadi saya ngefans sama AE khusus di buku-buku fiksinya, saya belum pernah membaca satu karya AE yang berbentuk biografi...:malu.

So, I really hope that this True Love is another fiction.

[Kado My Secret Santa] Resensi Novel Young Adult - Where She Went by Gayle Forman

Serasa menonton ulang film Before Sunrise..., tapi lebih datar
Reading from 13 - 15 January, 2012
Rating: 2,5 out of 5 star


Judul: Where She went (If I Stay #2)
Penulis: Gayle Forman
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Pewajah Sampul: Marcel A.W.
Tebal: 240 hlm
Rilis: Oktober 2011
ISBN: 978-979-22-7650-3

Summary:
Adam Wilde, seorang rockstar yang sedang naik daun, didera kegelisahan yang semakin hari semakin membuatnya tertekan. Ditambah lagi sikap anggota band yang lain yang selalu melihatnya sebagai masalah dan ancaman bagi grup yang album musik rilis terakhir mereka baru saja diganjar double platinum. Lalu, entah kebetulan entah takdir, Adam bertemu lagi dengan Mia Hall, mantan kekasih yang pergi meninggalkannya setelah ia pulih dari koma akibat kecelakaan yang juga merenggut seluruh anggota keluarga gadis itu, kurang lebih 3 tahun silam.

Atas nama nostalgia dan inisiatif Mia, keduanya menyibak sudut-sudut rahasia kota New York yang menjadi tempat favorit Mia. Dari perjalanan semalam itulah mengalir kisah demi kisah dalam rajutan kenangan masing-masing selama mereka berpisah. Apa yang menyebabkan Mia pergi meninggalkan Adam? Mengapa Adam seolah tak pernah mencari Mia jika ia benar-benar mencintainya? Apakah kejujuran dalam satu malam itu bisa merekatkan kembali segala sesuatunya yang sudah merenggang? Dan, jangan lupakan bahwa keduanya terburu jadwal terbang masing-masing, Adam ke London dan Mia ke Tokyo, apakah dengan waktu yang singkat itu semuanya akan terurai dengan benar? Simak saja bagaimana Adam dan Mia berdamai dengan masa lalu mereka dalam novel Where She Went karya Gayle Forman yang merupakan sekuel dari If I Stay ini.


Saya tentu saja sudah berniat membeli novel ini ketika teman-teman pembaca yang lain pada heboh memperbincangkannya. Apalagi sampulnya yang OK’s bangetsss itu… Simply beautiful! Tak tanggung-tanggung bahkan beberapa dari teman pembaca perempuan memasukkan Adam Wilde ke dalam daftar top boyfriend mereka. Ditambah lagi, novel ini dipilih oleh goodreaders di seluruh dunia sebagai novel Young Adult terfavorit tahun 2011. Tak ayal, saya semakin penasaran untuk membacanya.

Niatan awal, saya ingin membaca runut dari If I Stay dulu tapi dikarenakan kebaikan hati My Secret Santa, saya terlebih dahulu mendapatkan copy novel ini. Heh? My Secret Santa? Maksudnya? Hmm, baiklah saya akan bercerita sedikit tentang ini. Secara kebetulan saya baru bergabung di salah satu group pembaca di facebook yaitu komunitas Blogger Buku Indonesia (BBI) pada Desember 2011. Merujuk pada namanya, komunitas ini adalah tempat bergabungnya para blogger yang content blognya mostly tentang buku, tidak diperkenankan isinya bercampur dengan tulisan lain di luar buku. Awesome! Info selengkapnya tentang komunitas ini silakan intip di blogbukuindonesia dan fanpage BBI di facebook.

Saat itu sedang ada proyek Secret Santa yang diselenggarakan oleh anggota BBI (atau kami menyebutnya BBIers). Rule-nya simple: setiap orang yang mendaftar akan menjadi Santa yang akan mengabulkan wishlist dari seorang member yang terpilih menjadi penerima kado dari Santa. Dikarenakan proyeknya bertajuk Secret, maka baik si Santa dan sang penerima kado tidak saling mengetahui. Di situlah letak serunya proyek ini. Maka, setelah berdebar-debar selama masa penantian, datanglah paket misterius dari Santa saya yang baik. Taraaaaa... paketnya adalah novel Where She Went ini. Senangnya. Lalu, siapakah My Secret Santa?



Siapa dia? Saya berharap semoga My Lovely Secret Santa berkenan memperkenalkan diri kepada saya, di sini, hehehe....thank you very much, Santa. I am really happy that you send me this book. Awesome!

Oke, balik ke novel ini lagi. Sejujurnya, saya juga berusaha ikut merasai perjalanan kontemplasi yang dilakukan Adam Wilde bersama dengan Mia Hall. Saya ingin menemukan sensasi sebagaimana yang ditemukan oleh teman-teman pembaca saya yang lain (mostly, girls), but, unfortunately, I couldn’t find it. Dunno why. Begitu cerita memasuki tahapan penelusuran sudut-sudut kota New York, otak saya justru memutarkan kenangan film Before Sunrise-nya Ethan Hawke dan Julie Delpy yang sangat indah itu. Meskipun berbeda setting, karakter, bahkan ide cerita, namun Before Sunrise sungguh membuat emosi saya datar-datar saja ketika membaca novel ini.

Lalu, pada suatu titik, saya sampai mendengus sebal. Oh, apakah para gadis itu jatuh hati pada bintang rock cengeng pengidap depresi semacam Adam ini? Beuuh, sinis bener, kayaknya saya, ya? Entahlah, saya tak bisa terkoneksi dengan sempurna pada tokoh-tokoh rekaan Gayle Forman di sini. Seorang teman menduga mungkin dikarenakan saya yang belum membaca buku pertamanya. Ehmm, bisa jadi. Namun, selepas saya menyelesaikan If I Stay, saya tetap tak bisa jatuh hati pada kisah ini.

Alur yang ditaburi adegan flash back tidak membantu saya membangun citra diri Adam-Mia. Entah, karena saya yang tidak terhanyut itu, saya merasa permasalahan mereka ini “sepele-banget” dan dibikin ribet sama penulisnya. Konflik pun tak dipertajam. Keberuntungan demi keberuntungan seolah selalu memayungi tiap langkah kedua tokoh utama. Dan, semua menjadi demikian mudah. Lah, kenapa dibikin ribet sampai tangis-tangisan segala? Entahlah.

Saya pun sempat menyalahkan pilihan waktu membaca saya yang terus tancap gas hingga lewat tengah malam, ketika kantuk tak lagi dapat ditahan, saya tetap memaksa merampungkan baca. Tetapi, saya pun melakukannya ketika membaca If I Stay, dan hasilnya beda. Jadi, itu jelas bukan permasalahannya. Saya menyerah untuk mencari alasan. Memang saya-nya yang tak terhanyut kisah ini. Namun demikian, saya tetap menyukai novel ini. sekiranya nanti masih ada lanjutan dari seri ini, saya masih berkeinginan untuk membacanya. Bahkan, saya memang sedang mencari buku lain karya Gayle Forman untuk dibaca.

Secara teknis cetakan, Where She Went mengalami penurunan kualitas. Ada beberapa typo yang masih terselip termasuk inkonsistensi penggunaan beberapa kata (beda halaman, beda penulisan). Yang paling mengganggu bagi saya adalah pemenggalan suku kata yang tidak pada tempatnya. Bahkan, kata yang berada di tengah-tengah halaman pun mendapat pemenggalan suku kata. Saya menduga ini karena penggunaan software konversi kata yang tidak cermat dalam hal setting-nya. CMIIW.

Bagian favorit saya di novel ini:

...dan mereka akan segera lupa bahwa aku hanya manusia fana: daging dan tulang, bisa memar dan terluka (hlm. 129) ---Adam yang mengeluhkan ulah para fans yang merubunginya. 
...tidak ada tempat yang lebih mematikan gairah daripada rumah sakit. Baunya saja sudah bikin hilang selera –sungguh kebalikan dari meningkatkan hasrat (hlm. 136)
Ah, sudahlah, intinya saya suka novel ini, meskipun juga merasa biasa saja ketika selesai merampungkannya. Tak ada kesan yang berbekas di hati saya. 2,5 bintang saja untuk kebosanan saya menghadapi Adam yang penggamang.



Oke, selamat membaca, kawan! Dan, berkali-kali kembali saya sampaikan terima kasih kepada My Secret Santa! God bless you!

[Book News] Akhir Februari Novel My Partner by Retni SB Dirilis

Mendapat BBM dari salah satu teman pembaca tentang rencana rilis novel metropop terbaru karya Retni SB. Senangnyaaaaa... Sebagai seorang pembaca novel-novel metropop, saya memang telah membuat daftar tersendiri penulis-penulis favorit yang karyanya tak bakal saya lewatkan, salah satunya adalah Retni SB. Favorit saya adalah Metamorfosa Oase dan Pink Project.

Nahh...yang terbaru ini berjudul My Partner, berikut ini sampul dan sinopsisnya, saya copy paste langsung dari facebook mbak Retni SB. Silakan dilirik....:)


Sinopsis
Sudah jatuh, ketimpa tangga, ketumpahan cat, kepleset, terjungkal masuk sumur, lecet benjol, berdarah-darah, kemudian dicaplok buaya nganga. Begitulah perumpamaan kisah hidup Tita sekarang. Jungkir balik, berantakan secara mengerikan.

Ini bukan mimpi! Papanya dianggap koruptor, jadi tumbal dan masuk penjara. Efeknya? Mama harus dirawat karena depresi, adik mogok sekolah, pacar menghilang, sahabat menjauh, dan ujung-ujungnya, semua aset keluarga disita guna membayar ganti rugi negara. Seperti belum cukup, dia masih harus berhadapan dengan Dido: cowok keren berkedok dewa yang nyaris melahapnya!

Ini bukan sinetron! Karena Tita tak sampai banjir air mata hingga ratusan episode. Dia harus tetap berdiri tegak untuk melanjutkan hidup. Dia harus bisa tertawa cerah bagai mercusuar di gelap kehidupan keluarganya. Apalagi akhirnya dia tahu, ada seseorang yang tak membiarkannya sendirian tergulung badai. Seseorang yang tanpa disadarinya, selama ini telah menjaganya!

Gak Sabar nunggunya.

Monday, January 30, 2012

[Resensi Novel Dewasa] Unforgettable by Winna Efendi

Apalah arti sebuah nama...
Read from January 29 to 29, 2012
Rating: 4 out of 5 star


Judul: Unforgettable
Penulis: Winna Efendi
Editor: Rayina
Proofreader: Gita Romadhona
Penata letak: Wahyu Suwarni
Pewajah Sampul: Dwi Anissa Anindhika
Penerbit: Gagas Media
Tebal: viii + 172 hlm
Harga: Rp48.000
Rilis: Januari 2012 (cet. Ke-1)
ISBN: 978-979-780-541-8

Summary
Dua orang tak tersebutkan namanya dipertemukan oleh satu pandangan pertama yang disertai sebuah senyuman singkat, di dalam kedai wine. Si perempuan adalah seorang penulis yang melanjutkan mimpi menerbitkan buku dari cinta masa kecilnya, yang selalu terkenang sang Ayah, tinggal berdua saja dengan kakak lelakinya dan membuka kedai wine Muse, serta selalu bersembunyi dari hiruk pikuk dunia glamor perbukuan. Sekali pun buku-bukunya laris di pasaran, perempuan itu menikmati menjadi tak kasatmata bagi siapa pun. Kecuali pada lelaki itu, ia ingin dilihat oleh laki-laki itu.

Dan lelaki itu memang melihatnya. Seorang eksekutif muda yang pada suatu kesempatan memutuskan mampir ke kedai wine Muse dan menjadi pengunjung tetap. Lelaki itu adalah lelaki yang harus melupakan cita-cita masa kecilnya demi menjadi seorang laki-laki dewasa yang bertanggung jawab. Maka, ia menjadi pria yang tak pernah berbagi rahasia perasaannya. Lelaki yang harus menuruti orangtuanya untuk menjalin hubungan dengan gadis yang dijodohkan padanya. Sampai ia bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang berbeda dari perempuan kebanyakan. Perempuan tempatnya bercerita tentang segala rahasianya.

Maka dua orang yang memulai segalanya tanpa perlu mempertanyakan nama masing-masing ini akhirnya saling berbagi rahasia diseling segelas wine tiap malamnya hingga si lelaki beranjak dari kedai wine. Simaklah bagaimana curahan hati dua orang itu dalam novel terbaru karya Winna Efendi bertajuk Unforgettable ini.

Saya mendapatkan novel ini dalam paket partisipasi pada acara Unforgettable Moment: Meet and Greet with Winna Efendi, yang diselenggarakan pada hari Sabtu, 28 Januari 2012, pkl. 13.00 s.d. 14.30 WIB, di The U Cafe. Ini menjadi pengalaman pertama saya berjumpa dengan Winna Efendi yang beberapa karyanya saya gemari. Favorit saya adalah Unbeliveable (salah satu dari seri Glam Girls – Gagas Media)


Dan, Unforgettable demikian berbeda dengan beberapa karya Winna sebelumnya yang sudah saya baca. Oh, dari teknik penulisan sih tidak jauh berbeda. Tetap dengan kehadiran begitu banyak quotes keren dan diksi yang mengagumkan. Unforgettable dibungkus dengan balutan kisah sederhana yang tidak mudah untuk dilupakan. So unforgettable! Yang membedakannya dengan novel Winna yang lain adalah eksplorasi yang begitu dalam akan perasaan seseorang. Banyak sekali pertanyaan, gagasan, ide, kekhawatiran, ketakutan, yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk berkontemplasi.

Awalnya saya mengernyit. Haduhh, this book is not my type, seriously. Saya adalah seorang pembaca tradisional yang memuja comfort zone dan kelaziman, jadi ketika dialog dan narasi hanya dibedakan dari huruf miring/tidak miring, saya langsung memasang kuda-kuda untuk membaca lebih saksama. Dan, memang benar, saya harus membaca lebih teliti. Itu bagus sih, karena dengan demikian saya membaca lebih lambat sehingga dapat meresapi setiap kata-dan-kalimatnya. Yang bisa saya bilang, tiap kalimatnya sayang untuk dilewatkan karena saya khawatir akan terpeleset membaca keseluruhan pesan novel ini. Dan, gagal mencapai tujuan akhir yang seharusnya.

Sedikit mengulik behind the scene pembuatan novel ini, sebagaimana dituturkan oleh Winna, bahwa novel ini awalnya adalah sebuah novelette yang merupakan bagian dari karya bersama dua orang teman lainnya di komunitas kemudian.com. Naskah mulai ditulis Winna tahun 2007 hingga 2008 dan [mungkin] dikembangkan lagi sebelum naik cetak karena novel ini pun update dengan kondisi kekinian. Sejak dulu, Winna berkeinginan untuk menulis novel tentang wine, dan ia pun telah melakukan banyak riset dengan membaca buku-buku tentang wine, namun Winna tetap merasa bahwa yang dituangkannya di novel ini belum optimal. Ditambah lagi, ia yang tak terlalu bisa meminum alkohol menjadikan Winna tak mencicip langsung wine yang dibahasnya di novel ini.

And, you know what? Bagi saya yang tak paham soal per-wine-an, I don’t see that. Saya merasa cukup dengan penjelasan Winna. Tiap chapter berjudul salah satu jenis wine serta dilengkapi kutipan yang di dalamnya ada kata wine atau kata lain yang terkait dengan wine, untuk kemudian diberikan sedikit gambaran tentang wine itu dalam narasi dan percakapan dua tokoh rekaan Winna dalam masing-masing bab. Bagi saya, takarannya itu pas, tak kurang-tak lebih.

Kembali ke cerita. Novel ini memberikan inspirasi bagi saya yang selalu sulit mencari bahan perbincangan. Ahh, jadi seandainya saya berjumpa kawan baru, saya bisa menyontek beberapa topik bahasan di novel ini sebagai peletup impresi awal pertemuan. Saya terhanyut oleh pembicaraan yang dilakukan si perempuan dan si lelaki tak bernama. Keduanya bagai menemukan kepingan puzzle untuk melengkapi misteri masing-masing. Serupa menemukan teman diskusi untuk membicarakan apa saja. Tanpa batas. Tanpa keraguan. Tanpa takut akan ditertawakan atau terhinakan. Mereka menyatu dalam keterasingan. Mereka berteman karena menemukan kenyamanan.
Seandainya saja kita sudah saling mengenal sebelumnya, mungkin ada batasan-batasan yang membuat topik menjadi tabu untuk dibahas. (hlm. 119-120)
Tetap saja, mereka ini lelaki dan perempuan. Dan, ketika kenyamanan telah mendamaikan hati masing-masing maka seperti kata Harry pada Sally dalam film When Harry Met Sally, perempuan dan laki-laki tak akan pernah bisa berteman tanpa tendensi untuk saling meletupkan api asmara. Pada akhirnya, mereka mengakuinya. Meski tak terucap jelas, hanya terselip dalam bisikan samar, kata “cinta” itu pun tersampaikan pada masing-masing.

Novel ini tipis sekali, dipotong beberapa lembar kosong pembatas antar chapter, menjadikan novel ini bisa dilahap dalam sekali duduk saja. Dan, dikarenakan banyak sekali quotes di novel ini, saya sampai kesulitan memilih bagian mana yang paling saya suka. Semuanya bagus. Semuanya membawa makna yang demikian dalam bagi saya. Apalagi kata di pengujung novel ini:
Dan mereka hanyalah dua orang yang tak saling mengenal.
Kebetulan bertemu di suatu tempat, pada suatu titik waktu;
masing-masing menggenggam ujung seutas benang merah.
Mungkin yang ingin saya pertanyakan hanya adegan di halaman 105, “...mengenai kasus yang tak kunjung selesai di kantor, keluhan yang berada di ujung lidah, dan Zinfandel yang entah mengapa terasa terlalu pahit,...” di sini, saya merasa ini bagian dari pemikiran/situasi si lelaki. Nah, seharusnya wine yang diminum si lelaki itu jenis Cabernet, sedangkan Zinfandel adalah minuman si perempuan. Apa lagi, tak ada keterangan bahwa si lelaki meminta mencicip Zinfandel atau mengganti minumannya karena di bagian selanjutnya si lelaki tetap menyesap gelas wine jenis Cabernet. Hanya minor dan sekadar penasaran saja sih. Dan kata “teracuhkan” di halaman 145 mungkin seharusnya “tak teracuhkan” yang berarti “terabaikan,” jika dikaitkan dengan konteks kalimatnya.

Overall, saya suka novel ini. Berharap sih novelnya lebih tebal sehingga cerita memiliki plot yang lebih kaya. Oh, jangan khawatir, di pengujung cerita, akhirnya akan diungkap siapa nama kedua tokoh kita yang tercinta ini. Jadi, bacalah hingga akhir.

4 bintang untuk kenikmatan yang saya rasakan ketika menelusuri kata demi kata dalam novel ini. I love your words, Winna!


Selamat membaca, kawan!

Sunday, January 29, 2012

[Resensi Novel Metropop] Sunshine Becomes You by Ilana Tan

Patahkan saja tangannya, biar dia jatuh cinta...
Read from January 26 to 28, 2012
Rating: 3 out of 5 star


Judul: Sunshine Becomes You
Penulis: Ilana Tan
Pewajah Sampul: yustisea.satyalim@gmail.com
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 432 hlm
Harga: Rp65.000 (disc 20% pre-order)
Rilis: Januari 2012 (cet. Ke-1)
ISBN: 978-979-22-7813-2

Summary
Entah sedang sial atau bagaimana, hari itu Alex Hirano harus bertemu dan berurusan dengan Mia Clark. Bahkan, mereka pun tak saling mengenal, namun pada hari pertama perjumpaan mereka, Mia malah mencederai tangannya, membuatnya harus membatalkan jadwal konsernya, dan menderita kerugian material yang tidak sedikit. Dan, dengan diliputi kemarahan yang sudah memuncaki ubun-ubunnya, Alex menyetujui tawaran Mia untuk menebus kesalahannya dengan menjadi ‘pesuruh’nya hingga tangan Alex pulih.

Seperti pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino, begitulah yang terjadi pada Alex dan Mia. Intensitas pertemuan mereka, biar pun selalu diliputi percekcokan, akhirnya menerbitkan benih-benih asmara di antara keduanya. Bahkan, Alex bersedia bersaing mendapatkan cinta Mia dengan lelaki mana pun, termasuk adiknya sendiri. Dan, itu bukan sifat Alex. Dia adalah lelaki yang tak mudah takluk pada wanita. Jadi, mengapa kali ini Mia berbeda? Mengapa gadis yang sudah membuatnya tak lagi bisa bermain piano itu justru diperjuangkannya mati-matian? Simak saja kisah lengkapnya dalam novel terbaru dari novelis metropop laris serial 4 Musim, Ilana Tan ini.

Wah, ini menjadi rekor tersendiri bagi saya. Sampai dengan saat ini, saya jarang sekali pre-order buku. Saya tak pernah memiliki ambisi untuk menjadi yang ‘pertama’ membaca sebuah buku. Kecuali ketika hendak terbitnya New Moon (don’t laughing! Gw bakarin kemenyan lu!). Yap, gegara saya begitu menikmati Twilight, saya jadi tak sabar baca kelanjutan ceritanya dan segera pre-order begitu Gramedia membuka layanan pre-order buku keduanya. Jadi, ketika saya secara impulsif ikut mendaftar pre-order buku ini, saya memang tak punya alasan apa-apa. Selain bonus tanda tangan, autograph copy, dan diskonnya, tentu saja.

Well, sejauh ini saya pun nggak ngebet-ngebet amat sama Ilana Tan, sebenarnya. Meskipun telah membaca keempat novel seri musimnya, saya tidak begitu ‘terpesona’ dengan gaya menulisnya. Tentu saja, novel-novelnya mengalir lancar dan berhasil memadukan unsur-unsur romantisme dalam setiap kisahnya. Namun, ya, begitu saja, tidak pernah membuat saya yang...WOW!. Termasuk setelah menuntaskan baca novel Sunshine Becomes You ini.

First, salahkan Gayle Forman yang menghadirkan If I Stay dengan suasana haru yang sukses membirukan hati saya itu. #huhuhu. If I Stay membuat saya bercucuran air mata dan seolah ikut menjadi saksi mata kesedihan yang dialami Mia Hall. Sedangkan pada Sunshine Becomes You ini, sedikit pun saya tak berkaca-kaca. Ada apa dengan saya? Saya begitu sulit untuk terlibat jauh dan ikut meresapi kondisi Mia Clark. Ups, apakah ada yang menarik di sini? Mia Hall = Mia Clark. Fiuhhh, sekali membandingkan, malah ada bahan pembanding yang lain. And, you know what? Mia Hall = Mia Clark = siswa Juilliard. What a coincidence! Adam = Alex? Berinisial sama (A), dengan keahlian kurang lebih sama, musisi. Great!

Apakah buku ini romantis? Iya! Bahkan, saya sempat setuju dengan dugaan salah satu teman bahwa novel ini akan dirilis bertepatan dengan hari Valentine. Ternyata tidak. Namun demikian, novel ini memang memiliki standar romantis yang cukup. Apalagi ide tentang pesona-racikan-kopi-Mia. Hmm, I do love coffee, dan saya percaya bahwa kopi adalah salah satu hal seksi di dunia ini. Seandainya saya bisa bertemu dengan pasangan yang bisa membuat kopi yang super-dahyat, saya pasti jatuh cinta! Dan, Mia Clark yang mampu meracik kopi merek apa pun menjadi kopi super mantap ini sudah pasti bakal menjadi gadis impian bagi para penikmat kopi. Yummy.

Tapi, cerita yang sedemikian sederhana (dua orang bertemu tak sengaja, membawa petaka, cat and dog scene, love competition, dan tragedi) pada akhirnya tidak meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi saya. Dan, hey, hey, hey...rasanya saya bisa praktik baca kilat satu detik-satu halaman pada novel ini. #boong.banget. Hehehe, beberapa halaman saya skimming karena tidak ada detail penting untuk menunjang perkembangan cerita. Usual events yang tidak membuat konflik menjadi lebih tajam saya baca cepat sekali. Saya cuman pengin segera sampai di tujuan akhir perjalanan Alex-Mia. Too bad.

Dari satu adegan, saya masih bertanya-tanya. Bagaimana seseorang yang salah satu tangannya masih diperban bisa mengangkat seseorang yang lain? (hlm. 248). Bahkan orang tersebut tidak diberikan gambaran ekspresi kesakitan/kesulitan ketika melakukannya. Agak kurang logis, menurut saya.

Padahal, teknik Ilana untuk menggantung beberapa adegan di setiap ujung chapter sungguh membangkitkan gairah membaca. Bikin penasaran! Belum lagi, kepiawaiannya untuk memutar sudut pandang si pencerita. Point of view (PoV) yang digunakan seluruhnya adalah orang ketiga yang berpindah-pindah ke banyak karakter, di mana perpindahan PoV itu berlangsung dengan mulus. Ini merupakan salah satu unsur penulisan yang saya sukai dari Ilana Tan, yang juga saya dapatkan di Spring in London.

Sayang sekali, Ilana kembali menyia-nyiakan setting lokasi yang dipilihnya. Saya tidak mendapati upaya penulis untuk mengajak pembacanya merasai suasana kota Big Apple, New York. Padahal, New York menjadi salah satu kota dunia paling sering dibicarakan. Tetapi, saya sudah maklum, karena menurut saya Ilana memang tidak pernah mengeksplorasi lokasi ceritanya dengan optimal dan hanya terasa digunakan untuk melengkapi keterangan tempat bagi plot yang disusunnya saja.

Fiuhhh, saya pun terkesiap ketika menyadari bahwa tak banyak quotes menarik yang saya dapatkan dari novel ini. Salah duanya paling hanya yang ini:
“...Maksudku, aku penari. Menari adalah hidupku. Apalagi yang bisa kulakukan kalau aku tidak boleh menari?” (hlm. 264)
“Yang bisa membuatku merasa lebih baik adalah kopimu, Clark” (hlm. 313)
Sedangkan quote yang juga dipasang di sampul depan novel ini, “Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kaupercayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku,” sepertinya pernah saya dengar/baca sebelumnya, jadi tidak memberikan kesan apa pun. Memang sebagian besar, pilihan diksi dalam novel ini sangat umum dan biasa. Tidak ada yang membuat hati saya tergetar.

Tapi, wowsaaa.... saya musti nyelametin tim produksi novel ini. Wew, sepanjang pengamatan sih tak begitu banyak typo di novel ini. Thank GOD! Padahal di Spring in London, saya mendapatkan begitu banyak typo. Yang saya temukan hanya ini:
(hlm. 38) jelana jinsnya = celana jinsnya
(hlm. 40) tersenggal = tersengal
(hlm. 46) merasakaan = merasakan
(hlm. 143) Ales = Alex
Sedangkan kalimat yang ini masih membuat saya bingung:
...Karena apabila Mia memberitahu Ray bahwa Alex menemuinya untuk meminta maaf, maka Mia juga harus memberitahu Ray bahwa Alex meminta berarti kepadanya karena mereka sempat bertengkar, .....”
Overall, saya menikmati cerita yang mengalir lancar ini, meskipun saya kurang begitu dapet feel dari segi pokok kisah dan konfliknya. Dari awal, saya sudah memaksa otak untuk tak menayangkan slide novel/buku romantis lain, tapi tak bisa. Kilasan pengetahuan yang sudah saya miliki nyatanya memang menjadi racun yang membuat saya kurang bisa menikmati novel ini. 3 bintang saja saya sematkan pada novel ini.

Selamat membaca, kawan!

Sunday, January 22, 2012

[Resensi Novel Young Adult] If I Stay by Gayle Forman

Mbrebes mili...
Read from January 18 to 21, 2012
Rating: 5 out of 5 star


Judul: If I Stay (Jika Aku Tetap Di Sini)
Penulis: Gayle Forman
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Editor: Dini Pandia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 200 hlm
Rilis: Oktober 2011 (cet. ke-3)
Harga: Rp35.000
ISBN: 978-979-22-6660-3

Summary
Mia Hall adalah seorang gadis yang beruntung. Dia punya Mum, Dad, dan si kecil Teddy yang menggemaskan. Tak hanya itu, Mia juga punya Adam Wilde, seorang rockstar yang sedang menanjak popularitasnya bareng band Shooting Star, yang sudah resmi menjadi pacarnya. Namun, sebuah kecelakaan tragis di suatu pagi yang dingin-musim-salju, merenggut kebahagiaannya. Dalam sekejap dia kehilangan Mum, Dad, dan Teddy. Bahkan, nyawanya pun dekat sekali jurang kematian.

Ketika raganya masih diusahakan untuk sembuh dari segala kerusakan yang ada, jiwa Mia berkelana. Dalam hitungan jam, Mia yang tak kasatmata menyusuri tiap sudut rumah sakit, menyaksikan orang-orang yang disayanginya menjadi panik, sedih, pasrah, dan tak percaya atas apa yang terjadi. Bahkan, hatinya pun seakan teriris sembilu ketika menyaksikan Adam berjuang untuk bisa masuk ke ruang perawatannya dan membuat janji yang akan mengubah segalanya.

Rasakan puncak kepiluan dari dua hati yang dipersatukan dengan dukungan sebuah keluarga yang harmonis namun dalam waktu singkat harus menghadapi cobaan hidup mahadahsyat dalam novel karya Gayle Forman berjudul If I Stay ini.

WOOOWWW! Kapan saya terakhir kali tiba-tiba menangis tanpa bisa saya cegah hanya dari membaca novel? Hmmm....sudah lama sekali rasanya. Dan, saya mengalaminya lagi ketika membaca novel ini. Serius! Padahal dalam dunia nyata saya sulit sekali untuk merasa sedih, lho. Aneh, memang. Mungkin, otak saya salah program. Dunno. Tapi, syukurlah, novel ini memang diciptakan dalam topografi berbukit-bukit. Jadi, ketika telah dihadirkan satu adegan yang begitu mnegharukan, dengan konsep flashback, penulis membawa pembaca ke masa lalu Mia yang menyenangkan. Sehingga ketika tak sengaja air mata mengalir, detik berikutnya rasa sedih tersapu kedamaian melihat masa lalu yang indah, dan air mata berhenti dengan segera.

Bagian inilah yang membuat bendungan mata saya tak mampu menahan luapan air mata yang tumpah:
Gramps.... dan berbisik.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Kalau kau mau pergi. Semua orang ingin kau tinggal. Aku ingin kau tinggal lebih daripada apa pun yang kuinginkan di dunia ini.” Suaranya tersekat emosi. Dia berhenti, berdeham, menarik napas, dan melanjutkan. “Tapi itu kemauanku dan aku bisa mengerti mungkin itu bukan kemauanmu. Maka aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku mengerti jika kau pergi. Tidak apa-apa kalau kau harus meninggalkan kami. Tidak apa-apa jika kau ingin berhenti berjuang.”
Pada saat itu, saya teringat Bapak. Pada saat itu, saya teringat Ibu. Saya ingat betapa Bapak dengan pelan membisik kepada saya yang sedang tersedu malam sebelum Ibu saya dipanggil kembali padaNya, “Le, ndang lungguh sanding Makmu, wacakne dungo ben ora loro (Nak, sana duduk dekat Ibu, bacakan doa biar nggak sakit).” Itulah salah satu momen saya menumpahkan seluruh air mata. Saya sudah mencoba meminta padaNya untuk menyembuhkan Ibu, namun malam itu Bapak membuatku mengikhlaskan jikalau sekiranya Alloh hendak memanggil kembali Ibuku. Dan, Alloh memang memanggil Ibu saya, keesokan harinya.

Sosok Gramps, yang digambarkan oleh Gayle sebagai sosok pendiam dan pekerja keras ini, langsung membuat saya jatuh simpati pada beliau. Sudahlah, yang jelas, saya sesak napas ketika sampai di bagian ini (hlm. 152)

Saya membaca novel ini justru setelah membaca sekuelnya, karena buku keduanya saya dihadiahi oleh sahabat baru saya di group Blogger Buku Indonesia dalam proyek My Secret Santa (review buku kedua disepakati akan diposting secara bersamaan dengan semua member yang ikut serta program tersebut di akhir bulan Januari ini). Kalau tidak salah, saya pernah men-tweet soal saya yang tidak terhanyut ketika membaca Where She Went dan tak sampai merasakan kedalaman hati seorang Adam Wilde, dan Mery Riyansah menyarankan kepada saya untuk membaca buku pertamanya yang memang sudah saya niatkan. Dan, tak salah, saya memang terhanyut, bahkan tenggelam, dalam kisah mengharukan Mia Hall. Sebuah pengalaman yang sangat berkesan bagi saya.

Namun demikian, satu yang terlintas dalam benak saya. Ahhh.... film Ghost banget ini ceritanya, atau film Just Like Heaven banget, atau novel Memory and Destiny banget nih novelnya... tentang sosok-setengah-hantu-dengan-tubuh-terbaring-koma dan judgement saya memang tidak meleset jauh. Ini memang kisah seperti itu. Tapi, apa yang membuatnya istimewa? Tentu saja, kepiawaian penulisnya yang berhasil menyeret saya ke muara kesedihan yang begitu dalam namun tidak sampai menye-menye kayak sinetron.

Saya suka semua karakternya. Khususnya Teddy. Lagi-lagi saya sudah lama sekali tidak mendapati tokoh bocah cilik yang memang masih bocah di novel-novel yang saya baca. Ada sih sosok anak-anak namun kebanyakan sudah dicekokin sama kedewasaan karena keegoisan atau ketidaksanggupan penulisnya untuk menghadirkan tokoh anak kecil yang berjiwa anak-anak. Selebihnya, karakter tokoh-tokohnya di sini sangat kuat. Mia sang pecinta musik klasik dengan cello-nya, Adam sang rockstar, Dad yang mantan anggota group band punk, Henry dan Willow sebagai pasangan pencinta punk dan perawat. Saya bahkan tak mengenali Mia di sini seperti halnya Mia di Where She Went, dan saya suka Mia yang ada di sini. Di If I Stay dia terlihat tegar dan rapuh pada saat yang bersamaan (dan tepat) sementara di buku keduanya justru menjadi sosok peragu. Tapi, entahlah, memang kedua buku ini berbeda sudut pandang dan berbeda situasi sih ya.

Soal cover, saya lebih suka yang Where She Went. Meskipun keduanya sangat merepresentasikan pokok cerita, tetapi sampul Where She Went saya rasa lebih kuat untuk menggambarkan keseluruhan cerita ketimbang yang If I Stay. Lah, kenapa saya jadi membandingkan dua buku ini, ya? Hahaha, semprul! Yang jelas, saya rada kurang suka sama sampul yang If I Stay ini.




Soal typo, yeayyy... novel ini hampir bersih dari salah ketik/cetak. Awalnya saya pikir ameba (dari kata amoeba) dan pikap (sebutan untuk pick-up) itu salah ketik, ternyata di KBBI memang begitu cara penulisannya. Yang typo hanya di hlm. 130 (menembuat = membuat) dan hlm. 148 (Grams = harusnya Gramps).

Overall, sulit bagi saya untuk tidak menyukai novel ini. Salam buat Teddy dan Gramps. 5 bintang untuk If I Stay.

Selamat membaca, kawan!

[Resensi Novel Teenlit] Things I Know About Love by Kate Le Vann

Jadi, apa yang kutahu tentang cinta?
Read on January 22, 2012
Rating: 3 out of 5 star


Judul: Things I Know About Love (Yang Kutahu Tentang Cinta)
Penulis: Kate Le Vann
Penerjemah: Ade Reena
Pewajah Sampul: Bena NDR
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 176 hlm
Rilis: Oktober 2010 (edisi asli – 2006)
ISBN: 978-979-22-6283-4

Summary
Livia Stowe, seorang gadis London yang sebentar lagi lulus dari high school, dan pada musim liburan kali ini ia memutuskan terbang ke Princeton, Amerika Serikat untuk mengunjungi kakak lelakinya, Jeff, yang kuliah di sana. Oleh sebab leukimia yang dideritanya, Mum dan Jeff khawatir atas perjalanan itu. Namun, Livia tetap berangkat. Selain untuk berlibur, dia juga ingin merenungkan tentang cinta. Kebetulan dia memang baru putus dari Luke.

Dan, di Amerika Livia justru bertemu dengan cowok-cowok Inggris juga, padahal dia sudah berjanji untuk bermain cinta dengan stranger. Lalu, masuklah Adam ke kehidupan Livia. Tapi, apakah Livia akan menyambut uluran cinta dari Adam? Bagaimana jika Adam juga menjauh setelah tahu bahwa ia menderita kanker? Temukan petualangan Livia mencari makna cinta hingga ke New York dalam novel karya Kate Le Vann bertajuk Things I Know About Love ini.
Menderita suatu penyakit parah adalah pukulan telak bagi siapa pun. Jika kemudian seseorang mampu bangkit dan bersabar atasnya, maka masa depan dapat dikendalikannya. Sebaliknya, jika seseorang sudah luruh dan tak bersemangat, maka masa depan suram akan membayangi setiap jejak langkahnya. Dan, Livia, meskipun awalnya kurang semangat, kemudian demi keluarganya ia berjuang untuk sehat. Apalagi ia juga punya teman-teman yang mendukungnya.

Kisah ini sebenarnya sangat dramatis, namun entah mengapa setitik air mata pun tak jatuh dari kelopak mata saya. Sekilas saya sempat tersentuh, namun tak lama menjadi biasa saja. Namun demikian, saya suka dengan karakter Livia dan Adam. Sejoli yang sama-sama menyimpan rasa, tapi sulit mengungkapkannya. Livia, sebagai seorang perempuan dan beban penyakitnya, enggan memulai. Sedangkan, Adam adalah teman Jeff yang merasa canggung harus mendekati adik sahabatnya, meski hatinya sudah terpaut pada Livia. Bagi saya, tarik ulur ini begitu manis, karena kecanggungan di antara keduanya merupakan refleksi keseharian.


Inti novel ini begitu sederhana, bahkan konfliknya pun, meski terkadang mencolok, kurang kuat untuk membangun suatu dunia dramatis bagi hubungan Livia-Adam. Yang jelas, ceritanya mengalir lancar, walaupun saya merasa pada beberapa bagian terjemahannya agak kaku dan kurang nikmat dibaca. Tapi, overall saya suka. 3 bintang untuk kisah Livia-Adam ini.

Jadi, apa yang diketahui Livia tentang cinta? Berikut adalah catatan yang dipublikasikannya di blog pribadinya:

Yang kutahu tentang cinta
1. Jatuh
2. Cinta
3. Adalah
4. Suatu
5. Hal
6. Yang
7. Paling
8. Indah
9. Di
10. Dunia

Selamat membaca, kawan!

Tuesday, January 17, 2012

[Book Event] Kuis A Very Yuppy Dinner with Ika Natassa

WAW! WAW! WAW! Seru banget nih kalo bisa menang. Pengen banget bisa kepilih. Tapi kalo saya sih, pengen ketemu saja sih, jadi kalo nggak kepilih kira-kira boleh nungguin di luar nggak, ya, terus mau nanya-nanya dikit gitu? Plus minta tanda-tangan? Plus lagi foto-foto gitu? Hikz, pengen banget. #muka.melazt




Oke, bagi kalian yang mau ikutan kuisnya masih berlangsung kok (sampai dengan besok, Rabu, 18 Januari 2012, pkl. 15.00 WIB), yang jelas kamu harus punya akun twitter untuk bisa ikutan. Eh, tau juga sih, apakah ada media sosial lain yang digunakan @Gramedia untuk ngadain kuis ini. Tapi, khusus yang di twitter, caranya adalah seperti yang saya capture dari RT tweet-nya @Gramedia berikut ini:


Monday, January 16, 2012

[Resensi Novel Metropop] Three Weddings and Jane Austen by Prima Santika

Mom, wish you were here...
Read from January 11 to 15, 2012
Rating: 4 out of 5 star


Judul: Three Weddings and Jane Austen
Penulis: Prima Santika
Editor: Nana Soebianto
Pewajah Sampul: Prima Santika & Eduard Iwan Mangopang
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 464 hlm
Harga: Rp58.000
Rilis: Januari 2012
ISBN: 978-979-22-7898-9

Summary:
Ibu Sri adalah seorang mama yang mempunyai tiga anak gadis yang sudah menjelang usia pernikahan, Emma, Meri, dan Lisa. Mama adalah seorang penggemar berat Jane Austen. Keenam novel Jane Austen telah dibacanya, bahkan novel-novel itu menjadi guide dalam berkehidupan keluarganya. Saat ini, Jane Austen menjadi tumpuan harapannya untuk dapat menuntun ketiga putrinya menemukan tambatan hati masing-masing. Tak henti-hentinya ia menyelipkan contoh dari karakter-karakter rekaan Jane Austen kepada mereka. Terkadang untuk menguatkan, terkadang juga untuk sekadar mengingatkan.

Emma, dinamai dari karakter Emma Woodhouse di novel Emma, si sulung, adalah yang paling sabar dan pengertian di antara ketiganya, namun harus jatuh bangun membentengi hati ketika laki-laki yang diharapkan menjadi suaminya justru pergi meninggalkannya tanpa pernah memberinya kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya. Meri, dinamai dari karakter Marianne Dashwood di novel Sense and Sensibility, si tengah, adalah seorang gadis lovable yang gampang menarik hati laki-laki, namun justru ketika ia ingin melabuhkan diri pada dermaga pernikahan, lelaki yang dicintainya justru pergi setelah memergokinya berselingkuh dengan lelaki lain. Dan Lisa, dinamai dari karakter Elizabeth Bennet di novel Pride and Prejudice, si bungsu, adalah sesosok gadis tomboy yang menyimpan obsesi pada kakak kelas yang justru memacari sahabatnya sendiri dan atas nama persahabatan ia merelakannya, meskipun ia mulai meragukan keputusannya itu.

Nah, mari kita nikmati pesona Jane Austen yang membantu seorang ibu membukakan pintu pernikahan bagi ketiga putrinya dalam novel debutan karya Prima Santika bertajuk Three Weddings and Jane Austen ini.

Sampul
4 jempol. Huwaaaa...love it. Love it. Love it. Love it. Mungkin, so far, inilah sampul novel metropop terfavorit saya. Bahkan saya membeli novel ini secara impulsif adalah karena sampulnya. Ditambah judulnya yang secara subjektif sangat provokatif pada saya (me: love Jane Austen!), maka sampul buku ini sangat pas bagi saya. Perfect! Menyebut Jane Austen pasti langsung merujuk pada sastra klasik yang merujuk lagi pada buku sehingga pemilihan setumpuk buku cetakan lama di atas meja dan kacamata baca sudah sangat sempurna untuk mendeskripsikan seorang Jane Austen.

source: observer.com

Meskipun kalau boleh meminta sih, lebih oke lagi jika buku yang dijadikan sampul tersebut buku-buku Jane Austen langsung, tapi mungkin akan panjang soal urusan hak ciptanya yaa... hmm, for me, elemen-elemennya dapet banget lah! Posisi dibuat landscape dengan pemilihan font untuk menulis judul dan nama penulis sangat elegan. Sekali lagi, semuanya pas. Ditambah sampul belakang bukan berisi endorsment melainkan sinopsisnya menjadikan satu bintang saya sematkan untuk sampul buku ini. bagus!

Karakter
Awalnya saya merasa sulit sekali membedakan karakter Emma dan Meri. Meskipun dengan bantuan deskripsi kepribadian masing-masing namun masih saja saya merasakan tipisnya perbedaan karakter antara dua tokoh ini. Apalagi cara bertutur mereka pun hampir tak berbeda. Untung saja, plot yang disiapkan untuk keduanya berjalan dengan baik sehingga lambat laun saya mulai dapat mengenali keduanya. Sedangkan pada Lisa, sejak awal saya sudah bisa memvisualisasinya karena penggambaran diri, lingkungan, dan pergaulannya sangat memadai. Untuk karakter sang Mama memberi kesan tersendiri, meskipun tak banyak. Tapi, karena semua pusaran konflik juga adalah campur tangannya, maka karakter sang Mama tentu saja menjadi tokoh kunci.

Yang justru tidak terekspos adalah karakter si Bapak. Saya masih menimbang-nimbang apakah ini bagus apa tidak. Pada suatu saat, saya ingin ada sentuhan laki-laki dalam penentuan nasib ketiga perempuan itu, namun sosok Bapak Atmo hanya tersebut sekilas saja. Hampir bisa saya bilang, novel ini 99% adalah tentang perempuan. Perempuan yang membantu perempuan. Tak apa sih, hanya saja sebagai seorang lelaki, terkadang saya juga ingin melihat bagaimana laki-laki menempatkan diri pada masalah seperti ini. Namun demikian, hal tersebut tak mengurangi kenikmatan saya menyelami tiap-tiap karakter yang diciptakan oleh Prima Santika. Satu bintang untuk departemen karakter.

Cerita
Dari judulnya saja, pasti sudah tertebak ini tentang apa. Ya, pada akhirnya ini memang tentang tiga pernikahan dan Jane Austen. Ada yang sudah menamatkan keenam novel Jane Austen? Jika sudah, apakah Anda juga mendapatkan kesan bahwa meskipun menempuh jalan berliku yang terjal pada keseluruhan novelnya berakhir dengan pernikahan? Saya sudah mengoleksi versi Penguin Classic, hanya IDR 30k per buahnya, tetapi belum satu pun saya baca, sehingga saya tak bisa ikut menyimpulkan. Simpulan tersebut saya dapatkan dari cerita Mama ketika menasihati ketiga putrinya.

Dengan ending yang sudah tertebak, maka kekuatan cerita dari novel ini bertumpu pada bagaimana proses yang harus ditempuh ketiga karakter perempuan tersebut dalam menemukan tambatan hatinya. Siapakah yang menjadi Frank Churchill bagi Emma, John Willoughby bagi Meri, dan Fitzwilliam Darcy bagi Lisa? Baca sendiri ya... dan, hey, meskipun berakhir bahagia, proses menuju kepada kebahagiaan itu tidak lantas semulus jalan tol (eh, jalan tol pun udah banyak yang lobang juga, ya? Udah gak mulus-mulus amat). Berapa banyak lelaki yang keluar-masuk ke bilik hati masing-masing sebelum ketiganya dengan bulir air mata menjawab, “I will,” ketika para lelaki pilihan hati mereka bertanya, “Will you marry me?”

Untuk mengetahui sedalam apa Jane Austen memengaruhi cerita novel karya Prima ini, rasa-rasanya saya memang harus segera membaca koleksi novel-novel Jane Austen ini. Kesan yang saya dapat ketika menyelesaikan baca novel ini hampir sama ketika saya selesai menonton film The Jane Austen Book Club (film adaptasi dari novel berjudul sama karya Karen Joy Fowler) yang juga menghubungkan kehidupan para tokohnya dengan novel-novel Jane Austen. Saya suka. Saya puas. Maka, satu bintang saya tambahkan dari segi cerita.



Setting dan kelengkapan cerita
Bayangin saja, romantisme cinta ketiganya mengalir dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan London. Dan, pantai Bali tetap membuat saya penasaran (belum pernah ke Bali, hikz). Pergantian lokasinya smooth sekali dan sangat mendukung pergeseran hati masing-masing karakternya. Tidak semua karakter di tempat itu, tapi tiap lokasi penting dan tak bisa dipisahkan dari jalan cinta mereka. Properti Jane Austen benar-benar mendominasi jalannya cerita. Jangan bosan jika sampai pada penggalan-penggalan panjang retelling yang disampaikan beberapa tokoh di buku ini atas novel Jane Austen. Memang jadi susah jika kamu tidak begitu menyukai Jane Austen karena nama Jane bertebaran hampir di banyak halaman. Tapi, cobalah meneruskan baca sampai tuntas, dan kamu akan mendapat sensasi kejut yang tak biasa di ending-nya. Eh? Bukannya ending-nya sudah tertebak? Iya, tapi perjalanan menuju ending itu ternyata yang... ehmm... menarik! Tak terduga.

Untuk beberapa hal plot-nya membingungkan. Dengan point of view (PoV) orang pertama untuk karakter Mama dan tiga putrinya, saya harus ekstra keras berkonsentrasi agar tidak lupa, karena adegan tidak dibuat saling melanjutkan, melainkan dimulai lagi dari titik awal masing-masing tokoh. Misalnya ketika Meri dan Lisa ada dalam satu adegan di mana PoV saat itu ada di posisi Meri, nanti pas di bagian penceritaan PoV pada Lisa, cerita akan diputar balik dari sebelum terjadinya adegan Meri dan Lisa, sehingga runutan kisah harus dicari-cari lagi sampai ketemu adegan yang sesuai. Ditambah lagi keputusan teknis cetakan yang tak lazim (hampir seluruh dialog dicetak italic/miring), saya jadi tersendat-sendat menikmati alur ceritanya.

Ini novel metropop, tapi hampir tidak ada branded things yang disebutkan di sini. Ingar-bingar dunia malam yang biasanya ada, juga syukurlah tidak ada. Palingan hanya setting Hard Rock Cafe Bali, tapi itu pun tak lantas disertai detail hedonisme. Saya suka. Banget! Udah mulai bosen novel yang isinya free sex, drug, alkohol mulu. Satu bintang untuk setting dan kelengkapan ceritanya.

Teknis cetakan
As usual, berikut adalah laporan temuan typo yang ada di novel ini:
(hlm. 29) mempengaruhi = memengaruhi
(hlm. 39) ckup = cukup
(hlm. 45) memperjuangakan = memperjuangkan
(hlm. 71) berterbangan = beterbangan
(hlm. 72) tomboi, tomboy = inkonsistensi penulisan
(hlm. 75) prosentasenya = persentasenya
(hlm. 76) kepimpinan = kepemimpinan
(hlm. 89) koleksinya filmnya = koleksi filmnya
(hlm. 92) bersahabat karibnya = bersahabat karib
(hlm. 94) presss conference = press conference
(hlm. 96) laki-laki-laki-laki = jadi yang ini maksudnya apa? Lelaki-lelaki? Tapi jadi nggak bagus jika menggunakan frase laki-laki diulang dua kali, lihat saja jadinya = laki-laki-laki-laki. Nggak banget!
(hlm. 113) oleng,lalu lari = kurang spasi setelah tanda baca koma (,)
(hlm. 127) Jamie Collum = Jamie Cullum
(hlm. 143) Pejalanan = Perjalanan
(hlm. 147) teritimidasi = terintimidasi
(hlm. 149) dipungkiri = dimungkiri
(hlm. 151) pengatenan = pengantenan
(hlm. 173) Krina = Krisna
(hlm. 173) mggak = nggak
(hlm. 176) drektur = direktur
(hlm. 185) coklat = cokelat
(hlm. 249) interfensi = intervensi
(hlm. 260) di tinggal = ditinggal (digabung)
(hlm. 261) k ambil = kuambil
(hlm. 303, 322) ke tujuh, ketujuh = inkonsistensi penulisan
(hlm. 313) pelaksanannya = pelaksanaannya
(hlm. 337) sesesering = sesering
(hlm. 338) mengkonfirmasi = mengonfirmasi
(hlm. 341) dis ini = di sini
(hlm. 362) terpercaya = tepercaya
(hlm. 374) I’m ini this business = I’m in this business
(hlm. 377) Akuluar biasa = Aku luar biasa
(hlm. 378) Kuhentikan langkah dan menundukkan = Kuhentikan langkah dan menunduk = Kuhentikan langkah dan menundukkan kepala
(hlm. 387) Yang pasti dia maaf aku dan ngajak = Yang pasti dia maafin aku dan ngajak
(hlm. 409) kwain = kawin
(hlm. 411) kuungkiri = kumungkiri
(hlm. 414) semakin banyak banyak penghalangnya = pengulangan kata banyak
(hlm. 420) melihatya = melihatnya
(hlm. 420) ber kontak = berkontak
(hlm. 435) mengelilingnya = mengelilinginya
(hlm. 439) ungkiri = mungkiri
(hlm. 441) Di Emma = Dik Emma
Selain sederet typo tersebut, masih ada kesalahan teknis lain yang membuat saya selalu mengernyit. Salah satunya adalah inkonsistensi cetakan italic untuk keseluruhan bahasa dialognya, di mana terkadang ada juga dialog yang tidak dibuat italic. Saya sih tak suka dengan cetakan italic ini. Secara kan sudah ada tanda petik (“) yang mengindikasikan itu kalimat interaktif. Mungkin saya memang pria tradisional yang lebih suka pada pakem resmi, ya? Hehehe.

Kemudian ada juga kalimat ambigu yang sampai dengan saat saya membuat reviu ini, saya tetap tak bisa menafsirkan apa maksudnya:
Sepengetahuan Ibu, dia masih mencintai Nak Bimo tidak mendapat maaf.

Novel Ibunda dan Jane Austen ini buku pertamanya (hlm: Tentang Pengarang).
Uhmmm... apakah ini judul awal sebelum diubah dalam proses pengeditan? Yang jelas, ini fatal, mengingat yang terbit berbeda judulnya dengan yang disebutkan sebagai novel debutan Prima Santika, dan tidak disertakan keterangan soal pergantian judul tersebut.
Tapiii... saya juga suka pada banyak sekali bagian dari novel ini, salah satunya adalah yang ini (hlm. 285):
MENIKAH
Mengapa orang menikah?
Seperti tak takut menderita, tak jera meski bercerai...
Mengapa harus takut menikah?
Semua orang melakukannya, mestinya tak sulit dicapai...

Apa yang kucari dari menikah?
Aku tak mau sendiri di hari tua nanti...
Apa yang terjadi setelah menikah?
Aku tak tau, tak ada yang tau, tapi hidup kadang menuntut untuk berani...
Oiya, novel ini juga seru karena setiap pergantian cerita masing-masing tokoh diberikan jeda semacam puisi dan kutipan-kutipan dari novel-novel Jane Austen yang dihubungkan dengan kondisi yang dialami oleh para tokohnya. Novel ini tersusun atas prolog, dua bagian, sembilan bab, dan epilog. Beberapa judul babnya disesuaikan dengan judul novel Jane Austen. Interesting.

Dengan begitu banyaknya cacat cetak, maka dengan terpaksa saya tidak memberikan bintang di bagian teknis cetakan.

Kesimpulan
Saya suka novel ini. secara keseluruhan empat bintang untuk novel debut cak Prima Santika, arek Suroboyo yang lahir tanggal 14 Maret 1974 ini. Thank you sudah menafsirkan novel-novel Jane Austen ke dalam sebuah novel yang indah ini. Berkat novel Anda, saya makin tak sabar membaca koleksi novel Jane Austen yang saya punya.

Dari sisi pribadi, novel ini berhasil menyentuh relung terdalam saya. Tentang Ibu saya. Tentang umur saya yang tak lagi muda. Tentang saya yang masih juga melajang. Meskipun saya lelaki, tetap saja, terkadang ada juga sebersit rasa getir akibat kesendirian ini mendera saya. Mom, I miss you... SO MUCH! I wish you were here... membimbing saya menemukan belahan jiwa yang masih belum saya tahu di mana dia berada. I need your help, mom.

Selamat membaca, kawan!